Ujian Wajah: Ganteng dan Cantik

Siapa sekarang ini yang tidak kenal komedian Budi Anduk? Dia muncul dan besar di Tawa Sutra yang tayang di ANteve. Acara ini terbilang sukses. Buktinya, Budi Anduk dan teman menjadi bintang iklan yang belakangan sering muncul di layar kaca. Yang paling sukses adalah Budi Anduk. Selain dia muncul di dua iklan, ia juga diminta menjadi dua pembawa acara di dua acara yang berbeda (satu di Indosiar, satu lagi di ANteve)

Bahkan, ketika gonjang-ganjing penolakan terhadap calon wakil presiden Budiono, nama Budi Anduk yang disandingkan. “Budiono No, Budi Anduk Yes!” begitu bunyi salah satu spanduk.

Budi sadar betul, tak mudah bisa membuat namanya berada pada posisi seperti saat ini, kalau bukan campur tangan Tuhan. Ia sendiri sadar bahwa apa yang dimilikinya saat ini hanyalah sebuah titipan. “Saya sih biasa aja. Bedanya cuma karena saya ada di tv aja, jadi dikenal. Coba kalau saya (kerja) di pabrik, mungkin saya tidak dikenal,” ujarnya di Kompas Onlien

Diakui pemilik nama asli Budi Prihatin ini, ketenaran yang dirasakannya saat ini merupakan sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. “Enggak nyangka juga bisa jadi dikenal, targetnya sih cuma cari penonton aja. Kalau sekarang jadi dikenal, ya alhamdulillah. Apalagi dengan muka yang jelek ini gue masih bisa kerja,” tutur Budi.

Cukup puaskah suami Neneng Nurhayati ini dengan hasil yang didapatnya saat ini? “Jangan merasa cepat puas. Gue ini belum sukses, masih biasa aja. Gue masih harus banyak belajar,” ujarnya.

Tampang budi yang lugu, lucu, dan sangat “aneh” membuat dirinya mudah dikenal. Kisah yang hampir sama dialami Tukul Arwana. Keduanya berwajah “di bawah rata-rata.” Justru kekurangan itulah salah satu kunci kesuksesan mereka: Budi Anduk dan Tukul.

Begitulah. Tampang jelek, juga merupakan ujian bagi para pemiliknya. Bukan saya merasa ganteng — saya termasuk kelas Tukul dan Budi Anduk malahan — jika menilai wajah kurang keren sebagai satu bentuk ujian kesabaran. Coba betapa banyak, orang yang berwajah tidak keren itu lantas rendah diri. Minder. Mereka lantas tidak bisa bersyukur. Iri atas orang lain yang lebih ganteng, sedangkan nasibnya sendiri berwajah jelek. Orang yang lantas operasi plastik, bisa jadi, adalah karena merasa dirinya kurang.

Meski begitu, jangan sangka orang-orang yang berwajah ganteng dan cantik, bukan sebagai ujian kesabaran. Justru orang ganteng ini, ujiannya menjadi dua kali lipat: Pertama, apakah dia bisa bersyukur atas kegantengan/kecantikan dirinya. Kedua, apakah dia bisa menjalankan amanah kegantengan/kecantikan di jalan yang benar.

Dengan wajah ganteng, dia menjadi playboy, misalnya, jelas bukan bentuk bersyukur dan menjalankan amanah yang benar. Begitu pula, mereka yang diberi paras cantik. Betapa banyak orang cantik yang menggunakan untuk memperdaya lelaki. Betapa banyak perempuan elok yang justru jatuh ke kehidupan yang salah arah. Pelacur, menggondol suami orang, atau menjadi penggerogot lelaki yang kaya dan sukses.

Ganteng dan cantik, juga bisa menjerumuskan pemiliknya menjadi orang yang sombong. Karena “keunggulan” wajahnya, mereka lantas menganggap remeh orang lain. Mereka melecehkan mahluk sejenis, bermodalkan tampang.

Nah, sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi pemberian Alloh ke wajah kita. Bisa lebih baik, atau justru kian hancur. Toh tidak sedikit orang yang berburuk muka, lantas memanfaatkan ke jalur yang salah. Mengemis, menakut-nakuti pihak lain.

Saya merasa bersyukur diberi tampang yang “Sedang-sedang” saja. Ganteng tidak, jelek pun nggak.

Hidup dan Mati …

Hidup dan mati, tipis sekali batasnya. Baru semenit yang lalu segar bugar, semenit kemudian tinggal nama. Ya, coba tengok korban Hercules di Magetan, Jawa Timur itu. Banyak kejadian semacam ini. Setiap detik. Setiap jam, selalu saja ada orang yang menangis, meratapi kepergian orang-orang yang dicintai.

Orang yang mencintai, yang meratapi, suatu saat juga akan menjadi orang yang ditangisi. Mengihlaskan kepergian orang yang dicintai, juga bukan perkara mudah. Dua bulan lalu, saat ibu meninggal (mudah-mudahan Alloh mengampuni semua dosanya), saya merasakan hal yang sama. Saya berusaha untuk tidak menangis. Toh tidak berhasil juga. Saya bersyukur tidak sampai meratap — sesuatu yang dilarang secara agama. Hanya satu kakak saya, yang selama ini menunggui dan merawatnya, yang begitu terpukul.

Saya punya teman, yang ditinggal orang yang dicintainya, sampai pingsan tiga kali. Dia lelaki seperti saya. Ada juga yang sampai menghukum dirinya dengan tidak mau makan, tidak mau merawat dirinya lagi. Dia sangat terpukul, sampai menyalahkan Sang Pencipta.
Menangis, sepanjang tidak meratap, tidak dilarang. Nabi Muhammad Sholallohu Alaihi Wassalam, juga pernah mengeluarkan air mata, ketika putranya, Ibrahim meninggal.

Bagaimanapun, hidup memang harus memikirkan mati. Lebih penting lagi, berpikir kehidupan setelah mati. Sayang, termasuk saya, masih lebih senang berpikir tentang hidup di dunia yang sesaat ini, dibanding mengejar hidup yang abadi.

Saya bertemu dengan orang yang sukses, tetapi tetap bisa juga berpikir tentang kehidupan yang abadi. Kita sebut saja dia dengan nama Kohar. Dia ini seorang direktur sebuah perusahaan IT yang dulu sempat maju. Pak Kohar ini, demikian bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak buahnya.

Saking inginnya berpikir setelah kematian, dia hidup seimbang untuk dua tujuan: dunia dan akherat. Dia sudah beberapa kali dibongongi timnya sendiri. Orang-orang kepercayaan sendiri. Partner pertama, masuk bui karena terlibat perbuatan tercela. Orang yang kedua, ngemplang utang di bank dan nggak sanggup bayar. Koharlah yang harus menangung. Padahal, ia tidak ikut menikmati uang hasil utang tersebut. “Ya, saya mau nggak mau harus bertanggung jawab. Ya, inilah cobaan. Kalau hidup tanpa cobaan, kita nggak akan naik derajat,” katanya.

Taruhan Kohar sangat mahal. Selain seluruh hartanya bisa disita bank, dia juga harus kehilangan pekerjaan yang sedang berjalan. Untuk efisiensi, ia harus pindah kantor. Semula di daerah Segi Tiga Emas, belakangan minggir ke arah selatan Jakarta. “Biar lebih irit. Perbandingannya begini mas. Di kantor lama sewa sebulan, di sini bisa untuk satu tahun,” katanya.

Dia tetap tegar. Tak sepatah kata pun dari dia yang menyiratkan dia patah semangat. Toh ia tetap manusia. Yang punya rasa takut. Punya rasa khawatir. Memiliki keterbatasan daya. Dia mengaku, sering menangis bila sholat malam. Ia curahkan semua gundah gulana ini kepada Sang Pemberi Hidup. Bukan kepada ciptaan-NYA.

Saya dulu punya teman SMA, yang setiap kali sholat air matanya selalu berurai. Sholat apapun, dia selalu begitu. Saya bertanya, mengapa dia menangis? “Karena ini mungkin sholat saya yang terakhir,” katanya.

Luar biasa. Memang, salah satu resep agar sholat bisa khusuk, adalah dengan membanyangkan sholat itu sebagai ibadah terakhir. Saya pernah mencoba, tetapi hanya beberapa kali berhasil. Itu pun, seingat saya, hanya di awal-awal rokaat. Selebihnya, pikiran telah berlalu lalang, entah ke mana. Bahkan, terkadang bacaan yang sedang dibaca pun lupa.

Banyak kisah-kisah generasi Salaf (awal) yang menangis setiap kali sholat. Mereka menangis, karena bacaan yang sedang dibaca. Jika bertemu ayat-ayat tentang ancaman, tentang neraka, mereka seperti tersekat lehernya. Tiba-tiba bacaannya terhenti, menangis, dan melanjutkan bacaan. Yang luar biasa, mereka sanggup membaca satu ayat yang isinya ancaman itu berulang-ulang kali dalam satu rakaat. Dan, setiap membaca menangis pula.

Bagaimana sekarang? Di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, tidak sedikit imam yang melakukan hal yang sama. Tentu, jamaah yang tidak mengerti makna ayat yang dibaca, tidak bisa ikut menangis. Seperti saya, ya hanya menebak-nebak saja isi ayat tersebut.

Di beberapa masjid di Jakarta, kabarnya ada juga imam yang sering begitu. Saya beberapa kali mengalami. Ada yang aneh. Ayatnya, setahu saya, bukan tentang ancaman, kok imam itu membaca dengan suara gemetar. Setengah menangis. Saya tidak tahu apa maksudnya. Di situ ada ayat tentang bersyukur dan ruh.

Imam Ibu Qoyim, punya anekdot juga. Sakit ingin dilihat betapa khusuk sholatnya, seorang imam pun menangis sesenggukan saat sholat. Padahal, di situ tidak ada ancaman, tidak ada cerita tentang neraka. Mau tau ayat tentang apa? Coba baca Surah AL Baqorah: 222. Cerita tentang apa? Tentang haid perempuan. Lho kok menangis? Rupanya si imam begitu sakitnya menahan diri karena tidak bisa menggauli istrinya!

Jagalah Lidah…

Masih ingat dengan Aa Gym? Ah, saya mah hanya ingat tentang kampanye menjaga hati saja. Yang lain? Sudah lupa tuh…. Sayang Aa Gym tidak sempat menjelaskan bagaimana menjaga hati dengan merujuk petikan ayat Al Quran ataupun Al Hadis.

Beda halnya dengan menjaga lidah, cukup banyak anjuran itu. Tetapi, karena saya bukan ustad, lebih baik ngomong yang ringan saja. Andaikan kita bisa menjaga lidah dan kemaluan, sudah bisa aman. Tidak akan banyak dosa. Lidah inilah yang akan membawa kita bisa ke orang-orang berbahagia atau penuh murung seusai kita dilepas di kuburan.

Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” ( Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Seorang sahabat berkata: “Jika engkau merasa keras hatimu dan lemah badanmu dan berkurang rezekimu, maka ketahuilah bahawa engkau telah bicara yang bukan kepentinganmu.”

Kualitas seseorang bisa terlihat dari kemampuan menjaga lidahnya. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang sanggup mengatakan kebenaran dan ketika Rasulullah ditanya akhlaknya beliau menjawab akhlak beliau adalah Al-Quran. Rasul termasuk orang yang jarang berbicara tetapi sekali berbicara bisa dipastikan kebenarannya.

Cukuplah “ceramah” itu sampai di sini saja. Saya akan kembali ke realitas hidup. Kita akan berkenalan dengan seorang yang, bagi saya, sangat lihat menjaga lidah. Saya akan panggila dia Pak Tuo. Ini pasti asli Minang. Pak Tuo ini, seorang pensiunan sebuah BUMN yang sekarang masih aktif dengan kegiatan sosial.

Pak Tuo, pernah menduduki selevel manager di Telkom. Dia pekerja keras. Mengalawali karir dari bawah, dan punya reputasi yang baik. Pak Tuo ini ibarat gong. Dia sedang mau membuka mulutnya, bila ditanya. Meski kita duduk satu jam bersama dia, bila kita tidak sering bertanya dia akan terus membungkam.

Pak Tuo bukan orang yang bodoh. Dia pandai. Wawasan luas. Bukan hanya wawasan tentang ilmu pengetahuan populer, tetapi juga ilmu agama. Hanya saja, karena dia sangat pelit berbicara, orang tidak yang mengenal luasnya ilmu Pak Tuo.

Saya pernah satu mobil bersama dia. Kami pergi ke Kantor Departemen Hukum dan HAM di Jalan Rasuna Said. Kami mendapat tugas untuk mengurus proses pendirian sebuah yayasan. Nah, selama dalam mobil itu, saya menjadi benar-benar menjalankan profesi sebagai seorang wartawan.

Sejak dia membuka pintu, sampai keluar pintu mobil, omongan yang berasal dari dirinya tidak lebih dari 5 kata. Salah satunya, “terima kasih.” Selebihnya, saya yang berkata-kata. Yah, dia memang begitu. Dia orang sabar. Tidak pernah marah. Jangankan marah, untuk emosi pun tidak. Gaya bicaranya santun, datar. Sebaliknya dia murah senyum. Justru senyumnya itulah yang membuat dia tampak berwibawa.

Mengapa dia banyak diam? Selain sifatnya pendiam,”Saya lebih senang mendengar,” katanya. Tampaknya alasan itu benar. Saya kenal istri Pak Tuo, wah sungguh sangat bertolak belakang dengannya. Jago mangecek, kata orang Minang. Mungkin Alloh memang membuat menjodohkan orang-orang yang berkarakter berbeda untuk mendapatkan harmoni. Jika satu pasangan keduanya pendiam, ya pasti senyap. Tidak ada melodi yang mengalun. Begitu pula bila keduanya jago bicara… Bukan melodi yang lahir, tetapi peperangan.

Saya banyak belajar dari Pak Tuo. Beberapa hal yang sempat saya amati adalah bagaimana seni meyakinkan orang. Dia biasanya mendengar orang bicara. Ia menyerap semua omongan. Tanpa pernah memotong. Setelah itu, jika dia sependapat dia akan membenarkan. Jiak tak sepakat, dia akan adu argumen dengan sangat taktis. Banyak bicara, biasanya, banyak salah. Inilah yang diambil Pak Tuo. Poin-poin kesalahan atau kelemahan itulah yang dibalikan untuk mencounter pendapat lawan bicaranya.

Yang belum sanggup saya tiru, adalah kuatnya berdiam diri. Ia lebih banyak berzikir dibanding bicara. Dia lebih banyak merenung daripada melamun. Dia lebih banyak beribadah daripada berbuat bid’ah. Pak Tuo lebih senang tutup mulut daripada menyulut kemelut.

Saya masih saja sering membual. Berbicara yang tidak perlu. Banyak tertawa, banyak melamun, banyak menghayal. “Pak Pracoyo, menjadi pendiam itu memang nggak mudah kok. Lebih enak ngomong kan daripada diam?” katanya.

Bagaimana agar bisa mengendalikan dari bicara yang tidak perlu? Pak Tuo punya resep jitu. “Tidak usah kumpul-kumpul dengan teman, kalau tidak perlu,” katanya. Ya, Pak Tuo hampir tidak pernah hadir dalam kegiatan yang tidak ada nilai positifnya.

Meski begitu, bukan berarti pandai bicara tidak perlu. Ya untuk panglima perang harus jago pidato agar bisa membakar semangat prajurit, misalnya. “Kan anjurannya, lebih baik diam daripada bicara tidak benar,” katanya.

Wah, saya sendiri, rasanya, masih saja sering menceritakan keburukan orang lain. Menggosip, kadang juga masih menyerempet mulut. Padahal, gosip atau juga disebut ghibah merupakan dosa besar dan tidak diampuni, sebelum di halalkan atau di maafkan oleh orang yang dibicarakan. Bila orang yang kita jelek-jelekan itu sudah meninggal maka kita harus taubat dan tidak mengulanginya lagi. Lebih baik lagi, kita mendoakan kebaikan untuk orang tersebut dan juga bicarakan tentang kebaikannya.

Jagalah lidah,

Berpisah Dengan Anak…

Apapun minumannya, jika hati sedang lapang, akan terasa beda. Pagi ini, saya minum teh, terasa nikmat sekali. Bukan teh sembarang teh. Ini teh hangat tanpa gula, yang dibuatkan oleh istri saya, Yana Sufanti, bekas pacar saya juga.

Rasanya kok bukan teh yang membuat nikmat. Tetapi hati. Saya sedang bergembira, karena anak saya bisa menentukan pilihan sekolah. Kami menawarkan dua sekolah, satu di SMPIT Toriq Bin Ziyad, dan pesantren khusus putri Tasfiah. Di dua tempat itu, tes sudah dijalnkan, dan kedua sekolah itu meloloskan Afina Insani, anak tunggal kami, sebagai calon muridnya.

Saya, dan ibunya, tidak memaksa untuk memilih. Kami hanya memberi gambaran, plus minus, dan keuntungan sekolah di masing-masing tempat itu. Setelah selesai ujian nasional, anak saya mengirim email ke saya yang sedang di Tarakan: dia memilih pesantren.

Hmm, ini mengejutkan saya. Apalagi istri saya. Di sejarah keluarga kami, tidak ada satupun yang pernah menjadi santri. Tidak heran bila istri saya menangis. Apalagi neneknya, menangis sesenggukan. Mereka menangis karena sedih akan berpisah lama. Ya, Afina, adalah anak tunggal kami. Jadi, bisa dibayangkan betapa beratnya hati si ibu ketika harus merelakan tidak lagi bertemu dengan Afina setiap hari.

Ini pasti belum seberapa dengan cerita teman saya, yang harus kehilangan anak. Saya dan istri, punya teman yang memiliki kisah yang lebih mengharu biru. Sebut saja di Bu Hesti. Dia ini seorang janda. Bu Hesti ini ditinggal suaminya, ketika mereka baru saja memiliki anak.

Jika tak salah ingat, anaknya belum umur empat tahun. Ketika itu, suaminya sedang dinas luar kota di Medan. Oh ya, Bu Hesti dan suami, memang asal Sumatera Utara. Belum beberapa hari dinas di Medan, tiba-tiba ia mendapat kabar buruk. Suaminya meninggal karena kecelakaan mobil. Dia meninggal di tempat.

Betapa hati Bu Hesti hancur berantakan. Hatinya berkeping. Saat berangkat, suaminya sehat dan kuat. Gagah dan baik. Kali ini bertemu dengan suaminya sudah menjadi mayat.

Hari-hari berikutnya, terasa makin berat. Betapa tidak, keluarga suaminya mulai usil. Rumah yang ditinggali bersama anaknya, akan diminta pihak keluarga suami. Dia menghadapi berbagai teror. Mulai dari telepon berisi ancaman, sampai didatangi preman. Bu Hesti tetap tegar. Dia hadapi semuanya, seorang diri.

Bu Hesti bukan ingin menguasai rumah itu. Toh rumah itu dibeli berdua dengan suaminya. Bu Hesti hanya memikirkan anak tunggal mereka. “Itu kan hak anak saya,” kata Bu Hesti. Karena itu, Bu Hesti tidak mau menyerah begitu saja.
Dia berusaha mengubah sertifikat rumah dan tanah itu agar bisa menjadi nama dirinya. Ya, tujuannya biar benar-benar aman.

Terlepas dari rongrongan keluarga suami, Bu Hesti mulai konsentrasi untuk meneruskan hidup. Suami tidak meninggalkan harta melimpah. Selain rumah, suaminya mewariskan sebuah mobil kijang tua. Nah, mobil Kijang itulah yang ia manfaatkan untuk meneruskan hidup. Ia melayani antarjemput anak-anak sekolah tetangganya, yang kebetulan satu sekolah dengan anaknya. Jadi, dia sekalian mengantar anak, tetapi juga mendapatkan penghasilan.

Langkah itu tidak bisa berjalan lama. Kesehatan Bu Hesti memburuk. Dia memiliki penyakit di perut yang membuatnya tidak kuat duduk berlama-lama. Saya tidak tahu persis, apa penyebabnya.

Ia tidak kehabisan akal. Keluarga Bu Hesti, adalah keluarga besar. Dia memiliki saudara kandung yang cukup banyak. Kebanyakan mereka mandiri. Nah, salah satu kakaknya memiliki usaha dagang di daerah Taman Mini. Maka, sisa tabungan dan mobil ia sertakan sebagai saham dalam bisnis tersebut. Dari sinilah, setiap bulan, saudaranya memberi keuntungan. Jumlahnya, pasti saya tidak tahu. Tetapi, kelihatannya cukup untuk kebutuhan keluarga itu.

Status janda memang membuatnya banyak mendapat cobaan. Meski ia berkerudung hingga ke pinggang, tetap saja ada lelaki yang usil. Tetangganya, seorang duda, sering menggodanya.

Suatu ketika, tetangganya itu minta tolong seorang teman Bu Hesti agar melamarkan untuk dirinya. Bagaimana reaksi Bu Hesti? Dia tidak langsung menolak, tidak pula mengiyakan. Dia selidiki, dia amati duda itu secara diam-diam. Ia juga shalat istikaroh, untuk meentukan pilihan.

Maka, jabawan yang sampai ke si duda tadi adalah, Bu Hesti tidak mau menikah lagi karena punya penyakit yang akan mengganggunya bila menikah. Si duda dan mak comblang tidak tersinggung. Tetapi, alasan sebenarnya, sungguh mencengangkan. “Dia sholatnya nggak rajin. Jarang ke masjid, dan masih kejawen. Saya kan perlu imam di keluarga. Saya ingin menikah, tetapi dengan lelaki yang bisa membimbing saya,” kata Bu Hesti kepada istri saya.

Nah, untuk masa depan anaknya, dia juga mempersiapkan dengan baik. Meski anak lelakinya tunggal, dia tetap ingin menyekolahkan di pesantren. Dia memilihkan Pesantren Imam Bukhori di Solo, Jawa Tengah. Dia lebih tegar dari saya. Seorang janda, rela ditinggalkan anaknya, demi masa depan yang lebih baik. “Ya, saya kan nggak bisa mendidik anak saya sebaik di pesantren,” katanya memberi alasan.

Kemarin, Bu Hesti menelepon istri saya dengan girang bukan kepalang. Ya itu tadi, ia sangat senang anaknya di terima di pesantren. Sementara saya? Meski berusaha sabar, toh agak sulit juga membayangkan pulang kerja tidak ada anak. Tidak ada yang menjadi “wasit” ketika saya dan istri bertengkar. Biasanya dia menjadi wasit yang adil, meski lebih sering memihak ke saya….

Rumah Masa Depan…

Senja terhuyung-huyung ke arah barat. Badai yang mengiring seolah berjalan tersendat. Semua meratap dalam tatapan senyap. Mengapa hidup harus berwana hitam? Sementara burung prenjak terus berkicau di huma depan rumah.

Boleh kita masuk ke dalam bilik, sementara cahaya telah berjuntai lemah? Boleh, kita berkeset dan melangkah ke dalam, sedangkan dedaunan berguguran, bagai laron yang kehilangan cahaya? Rasanya berat. Ya, kita sekarang berada di sebuah gubuk reot dekat telaga. Di mana itu? Ayo kita mendekat ke sana.

Kita berada di sebuah kota yang sepi, yang jauh dari hiruk pikuk. Terhindar dari intrik. Terbebas dari kecamukanya pikiran yang sinting dan bahkan bejat. Kita berkenalan dengan Kang Rojak.

Dia orang kota yang baru saja mundur teratur dari sebuah jabatan tinggi. Mengapa Kang Rojak menyepi. “Ingin membebaskan diri,” katanya. Bebas dari apa? “Dari kebencian. Selama di kota, saya terlalu banyak membenci. Saya terlanjur membenci kemiskinan. Saya terlanjur membenci kebodohan. Saya membenci orang-orang yang suka merapal mantra.”

Saya, Anda juga mungkin setuju, belum mengerti arah tulisan ini. Padahal, setelah direnungkan kembali, tulisan ini sebenarnya hanya ingin bercerita tentang orang yang sedang frustasi.

Bukan frustasi ditinggal pacar atau semacamnya, tetapi justru orang yang frustasi dengan kemapanan. Kang Rojak ini sudah menjadi orang terpandang di Jakarta. Namanya setiap hari disebut di televisi, kadang juga koran.

Dia sudah mapan. Sangat mapan. Dia sudah banyak membantu teman, saudara, bahkan musuhnya pun ia bantu. Kang Rojak, tidak bangga dengan itu semua. “Hati saya sudah kering, saya perlu air untuk ini,” katanya menunjuk ke dada.

Siraman air untuk jiwa yang kering, bukanlah lagu-lagu yang menyayat. Bukan juga irama ajojing yang menghentak-hentak hingga badan terasa maju mundur serantak. Lantas apa Kang? “Yang bisa membuat saya tenang untuk melewatkan waktu malam. Yang membuat saya bisa tersenyum saat badan ini tertimpa musibah.”

Wah Kang Rojak ini seperti sedang ngelantur. Semakin sulit dipahami. “Yah pokoknya begitu. saya tidak mau berjalan gagah seperti selama ini. Saya ingin tenang melangkah kaki. Kapanpun saya tersungkur, saya akan tetap bersyukur,” katanya.

Saya makin pusing mendengar kalimat-kalimatnya. Maka, hari-hari pun berjalan cepat. Kang Rojak akhirnya berhasil membebaskan diri dari kehancuran martabat. Ah, tidak juga. Lebih pas, ia senang menjadi orang penyepi. Perenung.

Saya mengenalnya saat dulu bersama-sama ikut pelatihan kepemimpinan di SMA. Dia senior saya di SMA 36, Rawamangun. Dia kuliah di filsafat UII Jogjakarta. Nah, Anda jadi sedikit paham kan mengapa pembicaraan Kang Rohmat tadi agak sok filosofis?

Dia dulu pengagum Karl Max. Buku itu malah menjadi kitab pertama yang dikhatamkan di SMA. Dan, jangan kaget dia membaca tulisan mark itu dalam bahasa Jerman, bukan terjemahan.

Tetapi, setelah sekian tahun hidup sebagai orang kiri, dia sekarang seperti rindu akan sentuhan qolbu. Dia banyak merenung. Dulu suka menjadi penggerak organ-organ berhaluan kiri. Dia rajin menggerakan petani. Melakukan advokasi kepada mereka, bahkan mengajak dan membiayai mereka demontrasi.

Herannya, dia memilih istri yang taat beragama, dan berjilbab pula — sementara dirinya Marxis tulen. Nggak tahu kenapa. Ah, hidup memang misteri. Akhirnya keheranan saya terjawab, setelah mereka akhirnya bubar, cerai. “Minyak dan air memang nggak bisa menyatu,” katanya.

Setelah kehilangan istri. Semenjak jarang berjumpa dengan anak. Sedari dia meninggalkan semua ibadah, sejak saat itu Kang Rojak mengaku seperti mayat berjalan. “Nggak ada kemauan, nggak ada harapan,” katanya.

Jabatan direktur sebuah perusahaan yang cukup terkenal pun dia tinggalkan. Dia tinggalkan begitu saja. “Buat apa? Buat siapa? Toh semua kebutuhan hidup secara materi semua sudah berlebih,” katanya.

Ia ingin menebus. Ia ingin menarik diri ke belakang, tetapi dengan pikiran yang tenang. “Saya takut jika nanti ketika ruh sudah terlepas dari badan, saya tak mampu menjawab untuk ama umurku dipakai. Untuk apa hartaku digunakan,” katanya.

Proses hidup. Saya lebih memilih senang menyebutkan sebagai ketukan di hati yang rapuh. Melenting, ringan, tapi nyaring. “Biarkan saya ini menebus hari-hari yang telah lewat. Biarlah saya menebus tawa dengan linangan air mata,” katanya.

Kang Rojak berguguran air mata. Pipinya seperti terguyur air semangkuk. Saat kami duduk, di gubuk itu, Kang Rojak terus bergetar dadanya. Di gubuk ini, dulu Kang Rojak pernah dibesarkan. Di gubuk itu, Kang Rojak pernah kenal dengan apa yang disebut Alloh. Ibunya yang meniupkan ke dinding hatinya. Hanya, setelah makmur itu bergumul dengan dirinya, dia mencampakan ke tembok, menendang dan bersiul riang.

Saya memberi sebilah tisu. Ia menusukan tisu ke pelupuk mata. Ia mengerang. Ia merenggang. Kang Rojak tersungkur pingsan.
……
……
Saya hilangkan bagian-bagian setelah itu. Kini kita bertemu di alam nyata. Adakah Kang Rojak itu sedang bersandiwara? Adakah kita harus percaya kepada dongeng? Dengarkan.
“Pracoyo, kamu tidak harus mempercayai saya. Ketuk hati. Guncangkan hatimu! Apa kamu pernah serius mempersiapkan rumah setelah kematianmu, seserius kamu mengejar karirmu?”

Saya diam. Saya diam. Saya diam…..