Jangan marah! Mengapa tak boleh marah? Apa yang mau yang mau disalahkan, siapa pula yang harus dimarahi bila ada pesawat Hercules jatuh? Jumlah korbannya pun lebih dari 100 orang. Derai air mata, rintihan orang-orang yang meratapi kepergian anggota keluarganya, terus mengema.
Ngomong-ngomong, kok sering benar ya pesawat di Indonesia ini bagai burung pelatuk yang terbang sambil ngantuk. Jatuh gedebruk, dan kita hanya menanggapi sebagai musibah. Padahal, bila pesawat itu dirawat dengan baik. Dioles dengan oli yang baik, dihargai dengan nilai yang baik, mungkin jumlah pesawat yang tumbang terus berkembang.
Kita mungkin punya dua kesalahan sekaligus. Pesawat yang relatif sudah uzur, ditambah perawatannya ala kadarnya. Jadi, upaya mengurangi angka kecelakaan pesawat (meski sudah pernah kena larangan terbang ke Eropa), seperti hanya omongan semata. Ini alih-alih mengurangi jumlah kecelakaan, justru setiap tahun pesawat terbang yang kandas kian bertambah. Okelah jika pesawat militer dianggap kurang dirawat dengan baik karena anggaran yang kecil. Bagaimana dengan yang swasta? Apa juga jatuh semata-mata karena takdir?
Saya teringat omongan Horea Salajan, dosen tunggal di PJTV dulu. Katanya, nyawa manusia di Indonesia itu tidak ada harganya. “Very cheap,” katanya. Indikasinya? Ya itu, tadi jumlah kecelakaan di Indonesia itu setahun bisa lebih dari 2.500 orang. Suatu jumlah yang bisa melebihi dari bencana alam. Karena itu, perusahaan asuransi khusus kecelakaan semacam PT Jasa Raharja, sangat risau dengan angka kematian yang sia-sia itu.
Ya, mestinya jumlah kecelakaan itu bisa dikurangi. Caranya? Tertib dan sabar. Soal tertib, kita sama-sama tahu, bangsa kita paling sulit untuk disuruh tertib. Apapun. Tertib administrasi, tertib anggaran, semua buruk. Tertib di jalan raya, makin amburadul.
Bila sudah bisa tertib, kita juga mesti mengiringi dengan sabar. Saya kok merasa, ujian sehari-hari itu, sangat besar, terjadi di jalan raya. Saya ingat dulu, ketika masih naik motor Honda Tiger. Rasanya, jalan raya itu milik sendiri. Tak boleh orang lain mendahului. Jika ada yang mendahului, dengan sedikit kencang, dan tarikan gas pas di sebelah, rasanya hatinya ditimbuni bara. Harus kejar! Harus! Kurang ajar!
Ketika mengendarai mobil, memang sedikit bersabar. Minimal, tidak marah, tidak tersinggug ketika ada mobil lain yang menyalip. Baik dengan sopan, atau dengan teriakan klason yang menyala-nyala, saya realtif tidak pernah marah. Saya pernah hampir mengajak berkelahi dengan sopir lain, justru saat akan parkir. Di saat itu, saya sedang plesir ke pusat berbelanjaan. Semua lahan parkir sudah penuh. Saya sudah memutar dua kali, hanya untuk menaruh mobil. Sudah dua kali ada tempat kosong, saya berusaha parkir dengan memberi lampu sein. Yang bikin jengkel, mobil di belakang saya, bukan menahan, malah terus memepet mobil saya terus.
Saya benar-benar marah. Saya sudah buka kaca, meminta agar dia memberi ruang ke mobil saya untuk mundur, ambil tempat parkir. Dua kali dilakukan, dua kali dia tak menggubris. Yang ketiga, saya sudah membuka pintu, dan siap melabrak orang bodoh itu! Tiba-tiba, tangan saya ditarik istri. “Jangan Pak,” katanya. Meski sempat mengeluarkan kata-kata yang tak enak didengar, saya akhirnya mengalah. Saya mencari tempat lainnya. Eh, saya sudah mengalah, rupanya, dia yang tidak sabar untuk ke luar dari arena parkir! Saya hampir saja meluapkan marah. Dengan kepalan!
Coba tengok kejadian berikut. Suatu siang, seorang kenek truk tiba-tiba turun dimemukul badan bus yang mundur, tanpa disadari sopirnya saat antri di pintu tol Pondokgede. Awas, dia memukul tidak dengan tangan, tetapi dengan skop pasir. Awak bus umum balik marah. Dua kenak dan satu sopir turun. Kenek itu, hanya dengan bebeapa kali pukul roboh di jalan aspal yang panas menyengat! Bayangkan, jika kenek truk itu menahan diri, apa akan ada kejadian demikian?
Ya, salah satu kunci kesalamatan di jalan raya, adalah tidak marah. Hanya di jalan raya? Rasanya kok tidak. Ada seorang bapak, yang tiba-tiba terserang stroke hanya karena marah. Dan, penyebab marahnya pun hanya sepele. Ia terganggung dengan suara berisik anak-anak yang tengah bermain! Dia mengusir anak-anak berteriak, dan naasnya, ikut pula terusir kesadarannya. Dia jatuh, pingsan. Saat sadar, semua sudah berubah. Bicaranya cadel, posisi mulut berubah, dan daya ingatnya mungkin tinggal separoh.
Begitu, marah pun bisa membuat hidup terpenggal. Tidak heran bila Rasullullah Shalalohu Allaihi Wassalam, pernah menasehati salah satu sahabtnya dengan ucapan pendek. “La Taghdob. Jangan marah,” sabdanya. Meski orang itu berulang kali minta nasihat hanya diberi jawaban yang sama.
Bagaimana pula dengan masalah pesawat yang berebut jatuh itu, apakah kita tak boleh marah? Entahlah. Yang pasti, semestinya para pengelola maskapai penerbangan, bisa berusaha lebih baik merawat pesawat. Bukan sekedar merawat, tetapi juga dengan meremajakan armadanya. Toh maskapai Singapure Airlines, jika tak salah, belum terdengar kabar pesawat mereka terkulai lemas di udara.