Doa Ibu, Menyembuhkan

Jika Anda memiliki anak pertama yang berumur 2.5 tahun, lahir setelah 17 tahun menikah, setelah Anda sembuh dari kemandulan. Anak Anda tersebut mengalami:

* bermasalah dalam pembuluh darah di liver,
* jantung berhenti berdetak selama 45 menit,
* pendarahan hebat yang membuat jantungnya berhenti berdetak untuk yang kedua kali
* pendarahan di liver, sembuh, pendarahan lagi berulang-ulang sampai 6 kali,
* tumor dan radang otak,
* radang ginjal,
* radang pada selaput kristal yang mengitari jantung,

penyakit tersebut hadir silih berganti, terus menerus dalam waktu 6-8 bulan…, Apa yang Anda lakukan?

Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi dalam bukunya ‘Jangan Takut Sakit’ (hal 111-117, penerbit Fawaid, -dengan sedikit penyesuaian) menuturkan sebuah kisah:

Dr. Abdullah bercerita,
“Ada seorang perempuan yang datang kepada saya dengan menyeret langkah-langkah kakinya, ia menggendong anaknya yang tersiksa oleh penyakit.

Ia adalah seorang ibu yang berusia mendekati empat puluh tahun. Ia memeluk anaknya yang masih kecil ke dadanya, seakan-akan anak tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu memprihatinkan, terdengar satu dua tarikan nafas dari dadanya.

Saya bertanya kepada si ibu, ‘Berapa umurnya?’
Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’

Kami melakukan pemeriksaan kepada anak itu, ternyata anak itu bermasalah dalam pembuluh-pembuluh darah di livernya.

Kami segera melakukan tindakan operasi kepadanya, dan dua hari setelah operasi, anak itu sudah sehat. Sang ibu pun tampak gembira dan riang.
Ketika melihat saya, ia bertanya, ‘Kapan anak saya boleh pulang dok?’

Tatkala saya hampir menulis surat keterangan pulang, tiba-tiba anak kecil itu mengalami pendarahan hebat di tenggorokannya, sehingga menyebabnya jantungnya berhenti berdetak selama 45 menit.

Kesadaran anak tersebut sudah hilang. Lalu para dokter berkumpul di dalam ruangannya. Beberapa jam telah berlalu, namun mereka tidak sanggup membuatnya tersadar.

Salah seorang teman saya segera mendatangi ibunya dan berkata kepadanya, ‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak (koma) dan saya mengira bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup.’ Saya menoleh kepada teman saya tersebut sambil mencelanya karena ucapannya tersebut.

Lalu saya melihat kepada si ibu, demi Allah, perkataan teman saya itu tidak menambah selain ia mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi kesehatan adalah Allah.’
Kemudian ia terus menerus membaca, ‘Saya memohon kepada Allah jika ada kebaikan pada kesembuhannya, maka sembuhkanlah ia.’

Setelah itu ia diam dan berjalan menuju sebuah kursi kecil, lalu duduk. Kemudian ia mengambil mushaf kecilnya yang berwarna hijau dan membacanya.

Para dokter pun keluar, saya juga keluar bersama mereka. Saya berjalan melewati anak itu, kondisinya belum berubah, sesosok tubuh yang terbujur kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya menoleh kepada ibunya, keadaannya juga masih tetap seperti sebelumnya.

Satu hari ia membacakan Al-Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari setelannya mendoakannya. Beberapa hari kemudian, salah seorang perawat perempuan memberitahu saya bahwa anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah.

Saya berkata kepada si ibu, ‘Wahai Ummu Yasir, saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa keadaan Yasir mulai membaik.’
Ia hanya mengucapkan satu ucapan sambil menahan air matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’

Dua puluh empat jam kemudian kami dikejutkan dengan kondisi si anak, ia kembali mengalami pendarahan hebat seperti pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya.

Tubuhnya yang kecil kelihatan lelah, gerakannya telah hilang. Salah seorang dokter masuk untuk melihat kondisinya secara langsung, lalu saya mendengarnya berucap, ‘Mati otak.’

Sang ibu terus menerus mengulang-ulang, ‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah Allah.’ Beberapa hari kemudian, anak itu sembuh kembali. Namun, baru berlalu beberapa jam, ia kembali mengalami pendarahan di dalam livernya, lalu gerakannya berhenti.

Beberapa hari kemudian ia sadar lagi, lalu kembali mengalami pendarahan baru, kondisinya aneh, saya tidak pernah melihat kondisi seperti itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang hingga enam kali, sedangkan dari lisan ibunya hanya keluar ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku, Dia-lah Penyembuh.’

Setelah beberapa kali pemeriksaan dan pengobatan, para dokter spesialis batang tenggorokan berhasil mengatasi pendarahan, Yasir mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, Yasir kembali diuji dengan bisul besar (tumor) dan radang otak.

Saya sendiri yang memeriksa keadaannya. Saya berkata kepada ibunya, .’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan kondisinya berbahaya.’ la tetap mengulang-ulang ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah’

la mulai membacakan Al-Qur’an kepada buah hatinya. Setelah dua minggu, tumor itu tetap ada. Dua hari kemudian, anak tersebut mulai sembuh, kami memuji Allah karenanya.

Sang ibu bersiap-siap untuk pulang, namun satu hari kemudian, tiba-tiba anak tersebut mengalami radang ginjal parah yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir menyebakan kematiannya.

Sementara si ibu tetap berpegang teguh, bertawakal dan berserah kepada Rabb-nya serta terus mengulang-ulang, ‘Penyembuh adalah Allah.’ Lalu, ia kembali ke tempatnya dan membacakan Al-Qur’an kepada anaknya.

Hari-hari berlalu, sedangkan kami terus berusaha memeriksa dan mengobati secara maraton hingga berlangsung sampai tiga bulan, kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah.

Akan tetapi, kisah ini belum berhenti sampai di sini saja, si anak kembali diserang penyakit aneh yang belum pernah saya kenal selama hidup.

Setelah empat bulan, ia terserang radang pada selaput kristal yang mengitari jantung, sehingga memaksa kita untuk membuka sangkar dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan nanah.

Ibunya hanya melihat kepadanya sambil berucap, ‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia adalah penyembuh dan pemberi kesehatan.’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan membuka mushafnya.

Terkadang saya melihat kepada ibu tersebut, sementara mushaf ada di depannya, ia tidak menoleh ke sekelilingnya. Kemudian saya masuk ke ruang refreshing, maka saya melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit dan para penunggu mereka.

Saya melihat sebagian dari para pasien tersebut berteriak-teriak dan yang lainya mengaduh-aduh, sedangkan para penunggunya menangis, dan sebagian dari mereka berjalan di belakang para dokter.

Sementara ibu itu tetap berada di atas kursinya dan di depan mushafnya, tidak berpaling kepada orang yang berteriak dan tidak berdiri menghampiri dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun.

Saya merasa bahwa ia adalah gunung, setelah berada selama enam bulan di ruang refreshing. Saya berjalan melewati anaknya, saya melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak bergerak, dadanya terbuka.

Kami mengira bahwa ini merupakan akhir kehidupannya, sedangkan sang ibu tetap dalam keadaannya, membaca Al-Qur’an. Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan tidak mengaduh.

Demi Allah, ia tidak mengajak saya bicara dengan sepatah katapun dan tidak pula bertanya kepada saya tentang kondisi anaknya. Ia hanya berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang anaknya tersebut.

Adapun usia suaminya sudah lebih dari empat puluh tahun. Terkadang suaminya menemui saya di dekat anaknya, ketika ia menoleh kepada saya untuk bertanya, istrinya menarik tangannya dan menenangkannya serta mengangkat spiritnya dan mengingatkannya bahwa sang Penyembuh adalah Allah.

Setelah berlalu dua bulan, keadaan anak tersebut sudah membaik, lalu kami memindahkannya ke ruangan khusus anak-anak di rumah sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan.

Keluarganya pun mulai membiasakan kepadanya berbagai jenis terapi dan pelatihan. Setelah itu, anak tersebut pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-akan ia tidak pernah tertimpa sesuatu sebelumnya.

Maaf, kisah menakjubkan ini belum selesai, karena satu setengah tahun kemudian, ketika berada di ruang kerja saya, tiba-tiba suami wanita itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya istrinya menyusulnya sambil menggendong bayi kecil yang sehat.

Ternyata si anak kecil itu sedang diperiksakan secara rutin di RS tersebut, mereka datang kepada saya untuk menyampaikan salam.

Saya bertanya kepada si suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang keenam atau ketujuh di dalam keluarga Anda?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak yang Anda obati setahun yang lalu. Ia merupakan anak pertama kami yang lahir setelah tujuh belas tahun kami menikah dan sembuh dari kemandulan.’

Saya menundukkan kepala, dan langsung teringat dengan gambaran ibunya ketika sedang menunggui anaknya. Saya tidak mendengar suara yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan pada dirinya.

Saya mengucap di dalam hati, ‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan mencoba berbagai terapi kemandulan, lalu diberi rezeki dengan seorang anak laki-laki yang dilihatnya mati berkali-kali di hadapannya.

Akan tetapi, wanita tersebut hanya berpegang teguh pada kalimat ‘Laailaaha illallaah’ dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Penyembuh dan Pemberi kesehatan. Subhanallah! Betapa besar tawakkal dan keimanan yang dimiliki wanita itu.”

DIKUTIP DARI JILBAB online

Hati Politikus

Menjadi politikus, konon, harus ekstra sabar. Minimal harus siap mental ketika teman baik tiba-tiba menjadi lawan. Bila hanya lawan secara politik, mungkin tidak terlalu masalah. Tetapi, bila harus berbuntut pada pertemanan pribadi, rasanya, lebih menjengkelkan hati.

Rasanya sulit mencari orang yang bisa memisahkan antara perbedaan politik dengan pertemanan. Bung Karno dan Bung Hatta, adalah contoh klasik itu. Mereka pernah berteman baik, saling dukung, saling mengagumi, dan saling bantu. Tiba-tiba, di saat perbedaan politik makin tajam, mereka harus berpisah jalan. Bung Hatta tak mau lagi di pemerintahan.

Hebatnya, meski mereka secara politik bertengkar, kekariban mereka tidak pudar. Saling bersurat, saling berkunjung masih berjalan terus. Sebaliknya, contoh yang buruk adalah era Soeharto. Presiden Soeharto menyingkirkan teman-teman dalam dua hal sekaligus: secara politik dan pertemanan.

Saya belum tahu, apakah ada sekarang politisi yang masih bisa meniru gaya Bung Karno-Bung Hatta tadi. Misalnya, saya kok ragu, mereka yang berpisah jalan dengan Megawati, dan kemudian mendirikan partai baru masih saling komunikasi. Saya juga ragu, antara PKB yang masih setia ke Abdurrahman Wahid dan yang sudah melenggang ke Senayan bersama Muhaimin Iskandar itu bisa saling sokong secara pribadi.

Itulah politik. Tidak pernah ada teman dan lawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang sama. Selama masih satu tujuan, mereka seiring meski hati mereka saling bertengkar. Jika kepentingan berbeda, hubungan baik, pun bisa hilang seperti debu tertiup angin.

Meski saya bukan politisi, saya pernah kehilangan dua teman politisi yang dulu sangat baik dengan saya. Ada seorang politisi muda, berbakat,pintar dan teman lama saya. Ketika dilantik menjadi anggota DPR, dia belum punya mobil. Beberapa kegiatan saya yang mengantar. Ketika dia kekurangan uang, saya mencarikan job seminar dan narasumber talkshow radio untuk dia. Kita tandai saja dia dengan nama Si Fulan Baik.

Saya juga sering makan bareng bersama dia. Kami saling traktir. Saya sering main di kantor dia, dan Si Fulan Baik itu juga sering meminta saya datang ke ruangannya. Ya, ngobrol politik. Ingat, saya seorang wartawan. Bukan politisi.

Tibalah saatnya. Presiden yang dia dukung melakukan beberapa kekeliruan. Saya menulis dan mencari fakta. Satu tulisan saya panjang lebar “menelanjangi” kebijakan dan langkah Presiden itu. Seiring berita-berita investigasi saya, hubungan kami menjadi renggang. Saat Presiden jatuh, saya benar-benar dimusuhi. Benar-benar dilupakan. Saya masuk menjadi enemy list-nya dia. Sampai sekarang nggak membaik. Dari tiga orang teman baik di fraksi itu, hanya satu orang yang sekarang hubungan lumayan cair.

Begitulah politik. Padahal, saya sudah menjelaskan, secara pribadi saya tidak pernah membenci mereka. Tapi, saya tidak pernah menyesal. Tidak pernah mengiba untuk berhubungan baik seperti dulu lagi.

Ini masih hubungan wartawan-politikus. Saya tidak bisa membayangkan bila saya berstatus sebagai politisi, mungkin lebih parah lagi. Karena itu, saya khawatir, pemilu presiden ini hanya akan membuat banyak orang kehilangan teman.

Nah, bukan bermaksud menggurui atau menasehati, berpolitik pun mestinya dengan santun. Berpolitik juga tidak perlu dengan emosi. Cukup lisan saja. Hati tidak perlu terlibat. Wah, ini sepertinya tulisan yang salah: jika berpolitik tidak dengan hati, bagaimana bisa menengkap getaran aspirasi rakyat ya?

Sebidang Tanah, Selembar Hati…

Ruang tunggu di kantor Mahkamah Agung, siang itu terasa sedikit panas. Seusai mengikuti sholat Jumat di tempat tersebut, saya berhenti sejenak di ruang tunggu tersebut. Di sini, biasanya, ada beberapa pengacara yang sedang mengurus perkara. Paling banyak, para pencari keadilan.

Saya amati seluruh ruangan. Seorang lelaki setengah baya, menarik perhatian saya. Saya berkenalan dengan Pak Surya Lubis, asal Asahan, Sumatera Utara. Orangnya kurus, rumbut kusut masai dan beruban. Peci yang dikenakannya melorot ke belakang, membuka pelipisnya yang agak lapang. Di pangkuannya, sebuah tas kulut kumal terpaku. Isinya, setumpuk berkas.

Sedang mengurus apa Pak? “Ini tanah saya. Sudah 5 tahun belum selesai juga,” jawabnya. Kalimat perkenalan itu, membuat saya makin penasaran. Saya, waktu itu adalah wartawan muda, yang masih sangat awam tentang dunia hukum. Saya diberi tugas untuk mengasuh rubrik Menggapai Keadilan di FORUM Keadilan, ya agak mirip Termehek-Mehek di Trans TV itu. Bedanya, ini yang disajikan bukan mencari cinta, tetapi para pencari keadilan.

Saya berusaha menggali informasi dari Pak Surya. Dia ambil sebatang rokok, dan menyalakannya. Asap mengepul dari mulutnya. Gigi-ginya kuning, dan beberapa di antaranya sudah tanggal. Ompong. “Saya sudah sebulan, tiap hari ke sini,” kata Pak Surya.

Setiap hari, Pak Surya mencari informasi tentang upaya kasasi yang tengah dilakukan. Jika tak salah ingat, pangkal soal adalah tanah milik Pak Surya ini diserobot tetangganya, yang seorang anggota ABRI (TNI). Yang diserobot cukup luas, sekitar 200 meter. Tanah itu tiba-tiba diklaim milik seorang anggota TNI itu. “Dia langsung membangun di atas tanah saya,” katanya.

Menurut Pak Surya, ia berusaha mengusir pendongkel hak miliknya. Apa yang ia dapat? Justru yang terancam terusir dari tanah tempat tinggalnya. Tanah yang dimiliki, sekitar 500 meter. Sebagian untuk rumah, dan sebagian dibiarkan begitu saja. Akibatnya, ilalang dan perdu banyak tumbuh liar di sana. Di bagian itulah lahan dicaplok. Ia pernah didatangi beberapa orang tentara, mengancam akan mengusir dari tanahnya jika terus berusaha mencari keadilan.

Dari Pengadilan Negeri hingga Pengadilan Tinggi, Pak Surya dikalahkan oleh majelis hakim. Hebatnya, semua ia urus sendiri. Ia tak didampingi pengacara. Dia menyusun pembelaan, dan mencari bukti, bahkan mendatangkan saksi, dilakukan sendiri. “Nggak punya uang untuk membayar pengacara Pak,” katanya.

Di Mahkamah Agung, Pak Surya sedang berharap-harap cemas. Memori kasasi sudah diajulan lebih dari tiga tahun, tetapi belum juga ada kejelasan nasibnya. “Saya akan terus berusaha. Itu tanah saya. Saya tak takut,” katanya dengan logat Batak yang kental.

Pak Surya hanyalah cermin. Di negara kita, orang-orang seperti Pak Surya itu jumlahnya ratusan. Mungkin malah ribuan. Jika tidak percaya, coba saja ke ruang tunggu di MA. Setiap hari yang datang silih berganti. Hampir semua mencari keadilan.

Saya benar-benar iba dengan Pak Surya. Tas kulit yang dibawa penuh dengan berkas, tampak sudah kumal. Baju pun begitu. Raut wajahnya meski terlihat garis-garis tua, dia tetap tampak optimis. “Kalau kalah juga, nanti akan menang di hadapan Alloh,” katanya.

Ya. Seberapa besar keadilan bisa ditegakan di negeri yang masih coreng moreng wajah penegakan keadilan ini? Pak Surya tahu itu. Ia tahu lawannya juah lebih kaya, jauh lebih kuat, jauh lebih segalanya. “Saya tak takut. Dia manusia, saya manusia,” katanya.

Pak Surya hanya berharap. Saya lebih melihat sosok Pak Surya ini orang yang tidak mau menyerah. Ia tahu akan kalah, tetapi tetap maju. “Tak apa Pak kalah. Saya di pihak yang benar. Alloh akan menolong saya,” katanya.

Pak Surya berkisah, hampir setiap bulan ia naik bus dari Sumatera Utara ke Jakarta, hanya untuk menanyakan perkembangan kasus. Dia tak punya saudara di Jakarta, hanya kenalan satu kampung. Di rumah tetangga itulah dia biasa menginap. Hanya yang kali ini, dia bertahan di Jakarta karena dia mendengar keputusannya segara keluar.

Saya menuliskan kisah Pak Surya itu dengan berat menahan amarah. Saya ikut emosi, ikut marah, ikut geram dengan kesewenang-wenangan yang harus diterima Pak Surya. Saya hanya bisa mengabadikan, tanpa pernah bisa menolong. Pak Surya telah bersabar, sedangkan saya malah emosi. Selembar hati milik Pak Surya, orang kecil dari kampung, rupanya lebih mulia. Bahkan dari orang yang memakai toga, yang konon akan memberi keadilan itu.

Ujian Teman Sejati

Teman sejati, sulit dicari. Saya yakin itu. SBY, Jusuf Kalla, Megawati, sekarang ini tak ubahnya sedang mencari teman sejati. Teman yang mau bersusah payah mencari satu lilin, untuk ditukar menjadi obor kemenangan.

Teman sejati itu, bukan yang setia mendatangi kita. Teman sejati bukan yang hanya rajin memberi nasehat. Teman sejati tidak pernah memilih status. Juga bukan mereka yang datang membawa kado ketika sedang pesta. Bukan pula, yang naik ke panggung dan berpidato memberi sejuta pujian, dan setelah turun ia mengumpat bagai lintah yang tak pernah lepas menggigit sebelum kenyang.

Teman sejati bukan seperti itu. Teman sejati justru yang duduk manis ketika kita tak setuju kepadanya. Teman sejati adalah yang memberi madu disaat kita sakit. Dia menarik tubuh kita saat akan tergelincir. Teman sejati justru yang hadir di saat kita bersedih. Bukan yang bernyanyi di kala kita sakit gigi. Teman sejati riang menari saat kita minta tolong, apalagi ketika sedang dalam kesusahan.

Ah terlalu banyak kreteria. Sejatinya ukurannya hanya satu: teman sejati adalah pelipur lara di saat kita berduka. Ia siap membela, menggantikan kita disaat kita membutuhkan.

Coba lihat betapa pusingnya SBY, JK, atau Megawati sekarang ini. Tidak sedikit yang dulu dianggap teman sejati tetapi justru menusuk dari belakang. Teman-teman pergi. Ini masih mending. Di saat ingin merebut harapan saja, sudah tega berkianat. Coba, dua dari tiga orang tadi pasti akan kalah. Berapa banyak kawan yang akan datang menghibur saat kekalahan itu datang? Berapa orang yang akan tetap setiap di saat kekalahan itu menjadi mahkota? Dari yang sedikit itulah mereka mendapatkan teman sejati.

Nah, lawan dari kawan sejati, ya kawan palsu. Ini saya kutip dari Goldenmother, konon ada Empat Macam teman pals. Siapa saja mereka? Mereka yang mengajak berkawan untuk tujuan menipu (1), mereka yang hanya manis di mulut saja (2), mereka yang memuji-muji dan membujuk (3), mereka yang mendorong seseorang untuk menuju ke jalan yang membawa pada kerugian dan kehancuran (4).

Sebaliknya, ada empat macam teman sejati: Seorang teman yang mampu membantu di dalam berbagai cara (1), seorang teman yang mempunyai rasa simpatik baik di dalam suka maupun duka (2), seorang teman yang memperkenalkan kita pada hal-hal yang berguna (3), seorang teman yang memiliki perasaan persahabatan (4). Empat macam orang-orang ini adalah teman-teman sejati, dan seorang seharusnya bergaul dengan mereka.

Nah, dalam pergaulan, kadang kita sulit membedakan mana teman palsu dan mana yang sejati. Memang ada nasehat agar kita berteman dengan sebanyak-banyaknya teman. Dari berbagai kalangan, dari manapun. Ya, teman seribu masih kurang, tetapi satu musuh sudah berlebih.

Ada seorang teman, kita sebut saja Andika. Andika ini orang yang sangat peduli terhadap teman. Istilah yang keren, solidaritasnya tinggi sekali. Dia punya banyak teman, karena pandai bergaul. Orangnya supel, ringan tangan, dan ramah. Ia juga bersedia mengunjungi semua rumah teman-temannya. Tak peduli dia kaya atau miskin.

Dia juga paling rajin mencari kabar atas teman yang sudah lama tidak beredar. Andika juga tak berat untuk membesuk teman yang sakit, yang terkena musibah, atau bahkan meninggal. Meski dia tidak kaya, ANdika sangat ingin menolong teman yang kesusahan. Dia sering memberi pinjaman, bahkan terkadang dia meminjam ke teman yang lain hanya agar temannya terbebas dari persoalan.

Saking baiknya Andika ini, bagi sebagian teman-temannya, dia dianggap sebagai setengah Dewa. Ya itu, karena kemuliaan hatinya. Yang membuat saya kagum, Andika ini sudah sangat sering dibuat pusing oleh teman-temannya sendiri, yang justru pernah ia tolong. Misalnya, soal pinjaman. Entah berapa orang yang tidak membayar utang kepada Andika. Entah sudah berapa teman, yang sudah ditolong: diberi pekerjaan, diberi modal usaha, atau diberi “kail” yang lain, dibelakang hari justru menusuknya dari belakang.

Andika santai saja. “Banyak yang nggak terima kasih. Banyak yang melupakan saya, ya nggak apa-apa. Setidaknya saya sudah berhasil membantu dia,” katanya. Apa sih yang diharapkan Andika? “Ya nggak ada. Ya barangkali, suatu saat nanti, saat saya ada kesulitan, saya akan ada yang menolong,” ujarnya.

Saya bangga punya teman seperti Andika ini. Ingin saya belajar sabar dari dia. Banyak menolong, tanpa pernah berharap terima kasih. Di luar Andika, saya punya teman sejati beberapa orang. Tidak banyak. Dan, itu tetap akan saya abadikan di dalam hati saja. Tidak akan pernah saya ceritakan siapa mereka.