Hidup Menanggung Malu…

Hidup Menanggung Malu

 

ayam tanpa bulu (: www.nextnature.net

ayam tanpa bulu (: http://www.nextnature.net

Berapa banyak orang yang bisa hidup dengan menanggung malu? Ehmm, ada orang yang mengakhiri rasa malu itu dengan jalan pintas: bunuh diri.

Ada pula orang yang justru bangkit setelah rasa malu itu melekat pada dirinya.

 

 

Saya pernalkan dia, Sopan. Dia nggak bida jauh dengan umur saya, 40-an tahun. Dia orangnya tinggi besar, mirip dengan mendiang bintang film Sopan Sopian. Bedanya dia tidak memili brengos yang melintang lebar di bibirnya. Sopan ini dilahirkan dari keluarga yang kekurangan.

 

Semasa kecil, menurut pengakuan Sopan, dia hidup serba kurang. Untuk bisa makan saja, katanya, sudah bisa bersyukur. Ayahnya petani tanpa memiliki sawah, dan ibunya seorang pedagang yang tak pernah meraih untung. Dengan keluarga besar, 11 bersaudara, sangat bisa dibayangkan betapa sulit hidup bagi keluarga Sopan ini.

 

”Sejak kecil saya sudah biasa dihina orang,” kata Sopan. ”Dari dulu menanggung malu,” katanya.  Ia dihina karena bodoh, dan juga miskin. Entah dua kata itu mana yang lebih dominan: apakah miskin membuat bodoh, atau bodoh disebabkan karena miskin. Yang pasti Sopan, merasa harus survive.  ”Tidak boleh ada orang yang menghalangi untuk maju,” katanya.

 

Ia berani maju karena justru karena kenekadannya. Dengan ilmu yang pas-pasan, hanya lulusan SD, ia mengelana ke Jakarta. Dia benar-benar merangkak dari bawah. Semula menjadi kenek di angkutan umum. Setelah itu berpindah menjadi buruh cuci mobil. Dan, akhirnya terdampar sebagai seorang pembantu di rumah orang. Karena badannya yang kekar, ia menjadi buruh cuci-potong ayam di daerah Pulogadung, Jakarta Timur. ”Saya ngenger, benar-benar jadi budak,” katanya mengenang.

 

Si majikan, memiliki tibuh mirip jenderal-jenderal yang berbadan tegap (bukan yang hendut). Penampilannya mirip seorang brigadir jenderal. Tidak hanya fisiknya yang kekar, ganteng dan tinggi, tetapi juga potongan rambut dan cara bicaranya mengikuti gaya seorang tentara. Di rumahnya, malah terpasang ia memakai baju seragam Kopassus. Jika orang yang tidak kenal dengan baik, pasti akan terkesan dia Kopassus betulan. ”Saya dulu diperlakukan kayak kambing congek,” katanya.

 

Bangun dini hari, dia harus memotong ayam, membersihkan bulu-bulunya, dan kemudian ikut majikan mengantar ayam ke pasar. Terkadang ia dipaksa ikut menjaga ayam di Pasar Slipi, sampai ayam benar-benar habis. Jika tidak ikut ke pasar, dia harus membersihkan semua peralatan alat potong, membuang bulu ayam, dan mengepel tempat pemotongan ayam. Bangun jam dua pagi, ia bisa istirahat setelah lewat jam 10 pagi.

 

Hanya  ngaso sebentar, ia harus menunggu ayam hidup yang akan dikirim ke rumah majikannnya. Oh ya lupa, Sopan ini juga harus ikut membantu menyapu dan mengepel rumah si majikan. Meski ia sudah bekerja keras, tetapi si majikan benar-benar berhati granit. Keras dan kasar. Sopan acap kali dibentak dan dihina.

 

Sopan tidak ambil pusing. Semua celaan dan makin ia masukan ke tielenga kanan dan dibuang lewat telinga kiri. Begitu seterusnya. ”Dalam hati,  saya berdoa suatu ketika saya akan lebih sukses dari dia,” kata Sopan mengenang.

 

Rasa malu dihina itu, Sopan malah merendamnya menjadi batu halus. Ia setiap hari tambah kuat, tambah hitam. Hatinya makin tambah dewasa. Itu berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Ia bertambah jengkel, meski sudah bekerja keras, gajinya tidak seberapa. Itupun terkadang diberikan setahun sekali, menjelang Lebaran.

 

Sopan belakangan bersyukur, dengan gaji yang disimpan itu ia malah bisa menabung. Bandingkan dengan sesama buruh ayam potong, uang mereka habis untuk beli rokok, mabuk atau bermain judi. Tidak sedikit pula yang dihamburkan main perempuan penjaja seks di daerah Pasar Pulogadung.

 

Dari rasa malu, ia jadikan pemicu semangat untuk terus tumbuh dan dewasa. Menjadi besar dan bijak. Selain untuk mengirim ke keluarga, Sopan bisa menabung. Ia berani ngontrak kamar sendiri. Belakangan, ia terpikat seorang pembantu yang tak jauh dari rumah majikannya.

 

Mereka pacaran. Beda dengan pacaran remaja lainnya, Sopan dan pembantu itu tidak pernah kelayapan, makan di luar atau pergi ke mana-mana. Dia malah bersama-sama menabung. Dan, setelah punya sedikit uang, mereka menikah. Dua-duanya masih tetap sebagai profesi lama mereka. ”Belum punya uang,” katanya mengenang.

 

Setelah itu, Sopan berani membeli beberapa ekor ayam hidup untuk dijual sendiri. Dengan menumpang di tempat pemotongan majikannya, Sopan menjual ke pasar. Eh, hasilnya luar biasa. Setelah beberapa bulan, dan memiliki pelanggan, dia akhirnya pamit dan berniat mandiri.

 

Rupanya, si majikan itu tidak rela melepas Sopan yang memang cekatan dan rajin bukan main dalam bekerja. Perpisahan majikan-buruh yang semula tidak akrap, bahkan sering dimaki itu, malah menjadi perpisahan yang menyakitkan buat majikan.

 

Kini, hidup Sopan merangkak naik. Saya tahu, dia tidak murni berdagang. Maksudnya, seperti kebanyakan pedagang, mereka menggunakan penglaris untuk menjaring pelanggan. ”Saya dibantu  Pak De di Rawamangun,” katanya. Pak De yang dimaksud seorang dukun yang punya spesialisasi ilmu penglaris. Setiap hari Kamis atau Jumat, jika tak salah ingat, keluarga Sopan itu pergi ke rumah si dukun.

 

Sopan melesat naik. Dia bisa membeli kios di pasar Kelapagading. Dari satu kios, sekarang menjadi tiga kios. Anak-anaknya juga tumbuh dan pintar. Mereka di sekolahkan di tempat yang prestisius. Rumah kontrakan pun sudah lama ditinggalkan, ia berhasil membeli rumah di pinggir jalan yang harganya lumanya mahal.

 

Di luar perdukunan itu, saya mengenal baik keluarga Sopan ini. Anak lelaki yang besar, memanggil saya dengan ”Om Yok”. Dulu waktu dia masih kecil, saya sering ikut menggendongnya. Dan, keluarga Sopan memang punya elan vital yang luar biasa. Selain menjadikan dendam masa lalu, masa yang sulam menjadi pemicu semangat, keluarga ini juga memiliki keberanian mengambil resiko. Itu tadi, saat orang takut mengambil kios di pasar yang masih sepi, ia berani maju duluan. Sopan untung karena harga kios masih murah.

 

Sopan juga membesarkan keluarga sendiri dan keluarga istrinya. Rumah reyot, menurut pengakuannya, diperbaiki. Ia juga membiayai adik-adiknya sampai kuliah. Tapi, entah benar atau tidak, kata orang bila memelihara penglaris, konon ada yang sampai meminta korban nyawa. Salah seorang adiknya, tewas terlindas mobil saat hendak pergi ke pasar.

 

Sopan, yang saya kenal, tetaplah lugu. Dan, bagaimana kisah majikannya? Sudah lama bangkrut, dan sekarang hidup dari mengandalkan belas kasih anak-anaknya. Apakah Sopan dendam? Ternyata tidak. Ia masih menjalin hubungan baik dengan keluarga mantan majikannya itu. ”Kan bagaimanapun dia dulu membantu saya. Pernah kasih makin saya,” katanya.

 

Sopan ikut memperhatikan anak-anak mantan majikannya itu. Saat kawinan anak majikannnya, misalnya, dia ikut menjadi panitia dan membiayainya. Saya masih sangat terkesan akan kebaikan keluarga ini. Dulu, hampir setiap malam, saya pergi ke rumahnya, hanya untuk menonton Dunia Dalam Berita. Ya, karena saya belum sanggup membeli teve, belum sanggup pula berlangganan koran. Bahkan, jika saya lupa nggak ke rumahnya ketika acara sudah dimulai, salah satu dari keluarga itu memanggil saya. Ini karena rumah Sopyan tepat di depan rumah kos saya. Hmm, nyaman juga kan?

 

Saya pernah diajak ke Dufan, di saat saya tidak bisa mudik di Hari Lebaran. Itu adalah kunjungan pertama saya Dufan. Senang bukan main. Dan, saat itu, kami masih naik mobil pick up. Saya duduk di belakang, hanya berteduhkan terpal. Kok terasa nyaman. Saya selain ikut menikmati beberapa permainan di Dufan, saya juga bisa ikut bersenang-senang. Coba, semua keluarga saya pulang kampung, tinggal saya yang masih sekolah SMA yang ditinggal di Jakarta. 

 

Kembali ke kehidupan Sopan, ujian terberat setelah sukses, yang saya dengar, adalah nasib adik iparnya. Setelah memiliki kios sendiri Sopan memiliki beberapa pekerja. Dan, mereka semua hidup menetap di rumah Sopan. Salah satu pekerja itu dijodohkan dengan adik iparnya. ”Eh setelah kawin, dia malah minggat,” katanya. Ya, si lelaki itu, dia pergi meninggalkan istri. Entah ke mana.  Adi iparnya itu sudah terlanjur sayang. Tidak heran bila lantas dia menjadi stress. Sopan pun harus mengurus adik iparnya itu.

 

Kini Sopan sudah benar-benar bisa melepaskan bayang-bayang masa lalu. Dia berhasil mengatasi rasa malu menjadi bara api yang menyala. ”Mungkin kalau nggak dihina, saya nggak bisa begini,” katanya. Mobil sedan mewah sudah ada di pelataran parkir rumah mereka.