8 Cara Belajar Ihlas

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Oleh: Mochamad Bugi
dikutip dari

dakwatuna.com – Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.

Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)

7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

Jagalah Lidah…

Masih ingat dengan Aa Gym? Ah, saya mah hanya ingat tentang kampanye menjaga hati saja. Yang lain? Sudah lupa tuh…. Sayang Aa Gym tidak sempat menjelaskan bagaimana menjaga hati dengan merujuk petikan ayat Al Quran ataupun Al Hadis.

Beda halnya dengan menjaga lidah, cukup banyak anjuran itu. Tetapi, karena saya bukan ustad, lebih baik ngomong yang ringan saja. Andaikan kita bisa menjaga lidah dan kemaluan, sudah bisa aman. Tidak akan banyak dosa. Lidah inilah yang akan membawa kita bisa ke orang-orang berbahagia atau penuh murung seusai kita dilepas di kuburan.

Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” ( Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Seorang sahabat berkata: “Jika engkau merasa keras hatimu dan lemah badanmu dan berkurang rezekimu, maka ketahuilah bahawa engkau telah bicara yang bukan kepentinganmu.”

Kualitas seseorang bisa terlihat dari kemampuan menjaga lidahnya. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan yang sanggup mengatakan kebenaran dan ketika Rasulullah ditanya akhlaknya beliau menjawab akhlak beliau adalah Al-Quran. Rasul termasuk orang yang jarang berbicara tetapi sekali berbicara bisa dipastikan kebenarannya.

Cukuplah “ceramah” itu sampai di sini saja. Saya akan kembali ke realitas hidup. Kita akan berkenalan dengan seorang yang, bagi saya, sangat lihat menjaga lidah. Saya akan panggila dia Pak Tuo. Ini pasti asli Minang. Pak Tuo ini, seorang pensiunan sebuah BUMN yang sekarang masih aktif dengan kegiatan sosial.

Pak Tuo, pernah menduduki selevel manager di Telkom. Dia pekerja keras. Mengalawali karir dari bawah, dan punya reputasi yang baik. Pak Tuo ini ibarat gong. Dia sedang mau membuka mulutnya, bila ditanya. Meski kita duduk satu jam bersama dia, bila kita tidak sering bertanya dia akan terus membungkam.

Pak Tuo bukan orang yang bodoh. Dia pandai. Wawasan luas. Bukan hanya wawasan tentang ilmu pengetahuan populer, tetapi juga ilmu agama. Hanya saja, karena dia sangat pelit berbicara, orang tidak yang mengenal luasnya ilmu Pak Tuo.

Saya pernah satu mobil bersama dia. Kami pergi ke Kantor Departemen Hukum dan HAM di Jalan Rasuna Said. Kami mendapat tugas untuk mengurus proses pendirian sebuah yayasan. Nah, selama dalam mobil itu, saya menjadi benar-benar menjalankan profesi sebagai seorang wartawan.

Sejak dia membuka pintu, sampai keluar pintu mobil, omongan yang berasal dari dirinya tidak lebih dari 5 kata. Salah satunya, “terima kasih.” Selebihnya, saya yang berkata-kata. Yah, dia memang begitu. Dia orang sabar. Tidak pernah marah. Jangankan marah, untuk emosi pun tidak. Gaya bicaranya santun, datar. Sebaliknya dia murah senyum. Justru senyumnya itulah yang membuat dia tampak berwibawa.

Mengapa dia banyak diam? Selain sifatnya pendiam,”Saya lebih senang mendengar,” katanya. Tampaknya alasan itu benar. Saya kenal istri Pak Tuo, wah sungguh sangat bertolak belakang dengannya. Jago mangecek, kata orang Minang. Mungkin Alloh memang membuat menjodohkan orang-orang yang berkarakter berbeda untuk mendapatkan harmoni. Jika satu pasangan keduanya pendiam, ya pasti senyap. Tidak ada melodi yang mengalun. Begitu pula bila keduanya jago bicara… Bukan melodi yang lahir, tetapi peperangan.

Saya banyak belajar dari Pak Tuo. Beberapa hal yang sempat saya amati adalah bagaimana seni meyakinkan orang. Dia biasanya mendengar orang bicara. Ia menyerap semua omongan. Tanpa pernah memotong. Setelah itu, jika dia sependapat dia akan membenarkan. Jiak tak sepakat, dia akan adu argumen dengan sangat taktis. Banyak bicara, biasanya, banyak salah. Inilah yang diambil Pak Tuo. Poin-poin kesalahan atau kelemahan itulah yang dibalikan untuk mencounter pendapat lawan bicaranya.

Yang belum sanggup saya tiru, adalah kuatnya berdiam diri. Ia lebih banyak berzikir dibanding bicara. Dia lebih banyak merenung daripada melamun. Dia lebih banyak beribadah daripada berbuat bid’ah. Pak Tuo lebih senang tutup mulut daripada menyulut kemelut.

Saya masih saja sering membual. Berbicara yang tidak perlu. Banyak tertawa, banyak melamun, banyak menghayal. “Pak Pracoyo, menjadi pendiam itu memang nggak mudah kok. Lebih enak ngomong kan daripada diam?” katanya.

Bagaimana agar bisa mengendalikan dari bicara yang tidak perlu? Pak Tuo punya resep jitu. “Tidak usah kumpul-kumpul dengan teman, kalau tidak perlu,” katanya. Ya, Pak Tuo hampir tidak pernah hadir dalam kegiatan yang tidak ada nilai positifnya.

Meski begitu, bukan berarti pandai bicara tidak perlu. Ya untuk panglima perang harus jago pidato agar bisa membakar semangat prajurit, misalnya. “Kan anjurannya, lebih baik diam daripada bicara tidak benar,” katanya.

Wah, saya sendiri, rasanya, masih saja sering menceritakan keburukan orang lain. Menggosip, kadang juga masih menyerempet mulut. Padahal, gosip atau juga disebut ghibah merupakan dosa besar dan tidak diampuni, sebelum di halalkan atau di maafkan oleh orang yang dibicarakan. Bila orang yang kita jelek-jelekan itu sudah meninggal maka kita harus taubat dan tidak mengulanginya lagi. Lebih baik lagi, kita mendoakan kebaikan untuk orang tersebut dan juga bicarakan tentang kebaikannya.

Jagalah lidah,