Sabar, Meski Berat

daunpagiHati Lapang, Membuat Tenang

Saya mengenalnya belum cukup lama. Sekitar dua bulan ini. Perkenalan terjadi karena perantara seorang teman. Dia, kita panggila saja Ustad Irun. Sejatinya, nama yang asli, saya tidak kenal. Karena teman saya memanggil begitu, saya pun ikut menyebutnya begitu pula.

Perawakannya tinggi besar. Janggutnya tidak terlalu lebat, tetapi cukup panjang hingga melebihi segenggaman tangan. Tatapan matanya teduh. Gaya bicaranya seperti berbisik. Tetapi, kata istrinya, jika sudah di mimbar untuk memberi tauziah, suaranya bisa gemuruh.

Orangnya kalem. Tetapi dipanggung sering menyelipkan humor. Ketika pertama kali kenal, saya merasa orang ini pasti kehidupan yang keras. Entahlah, saya belum menanyakan kebenaran firasat itu. Yang pasti, ia dilahirkan dan dibesarkan di Pemanukan, Subang. Yang pasti pula, ia memang menyukai olahraga keras, pencak silat. Ia menjadi salah satu pelatih di perguruan pencak silat yang, para muridnya, bekas preman di Pemanukan.

Ketika besar, ia merantau ke Serang, Banten. Ia pernah mengajar di Madrasah Aliyah (SMA). Di sekolah ini pula yang terpikat hati dengan salah satu muridnya, dan kemudian mempersuntingnya untuk menjadi belahan jiwa. Sekarang ia dikaruniai dua orang anak, putera dan putri. Istrinya tidak ikut KB, tetapi Alloh Azza wa’Jalla punya kehendak lain. Mereka baru dikaruniai dua orang bocah itu.

Suatu hari, sekitar lima tahun lalu, ia kedatangan sahabat karib. Teman main yang sudah kenal sejak duduk di bangku SLTP. Karena persahabatan itu, ia tak keberatan ketia si teman, namanya Rois, meminta dicarikan rumah kontrakan. Karena sudah lama pula tidak bertemu, dan niatan ingin menolong sahabat baik maka dengan cekatan ia pun mencarikan kontrakan. Ketika sahabatnya sudah tinggal, maka mereka pun berpisah.

Ustad Irun pun menjalani kehidupan normal seperti semula. Tak kurang ia mengajar di lebih dari 13 tempat (masjid maupun ma’jlis taklim). Setiap hari, hampir tidak ada waktu untuk sedikit istirahat, karena diluar jadwal rutin, ia juga cukup dikenal sebagai ustad yang laris di daerah tersebut.

Kehidupan berubah total ketika bom Kuningan (di depan Kedubes Australia) meledak. Beberapa pekan setelah bom itu menguncang Jakarta, tiba-tiba saja intelejen polisi sering datang ke pesantren yang ia asuh. Istrinya pernah menghardik intel itu, karena tindakanya yang tidak sopan. Selang beberapa hari, ia diciduk polisi. “Saya nggak tahu apa-apa, tiba-tiba diambil begitu saja,” katanya.

Apa tuduhan polisi? Menyembunyikan buronan polisi. Ustad Irun bertutur, sejak lama ia memang sudah diincar polisi karena sering memprakarsai unjuk rasa memprotes upaya-upaya Kristenisasi di daerahnya. Nah, kelihatannya polisi mendapat momen. “Saya menduga begitu,” kenangnya.

Maka, mulailah kehidupan yang tidak pasti. Di kantor polisi, ia biasa diinterogasi dengan kekerasan. Berbagai pukulan dan siksaan ia terima. Ia dipaksa menyebutkan di mana lokasi temannya. Ia sama sekali tidak tahu. Setiap ia menjawab begitu, siksaan makin keras pula.

Akhirnya, sang sahabat itu tertangkap pula. Lantas, apakah ia dendam kepada sahabatnya, yang membuatnya meringkuk di tahanan? “Ah nggak. Saya anggap qadarulloh (takdir dari Alloh). Buat apa?” katanya.

Luar biasa. Ia tak marah sedikit pun. Apalagi dendam. Bahkan, ia tak sakit hati. Entah terbuat dari apa gumpalan darah dalam dirinya itu, hingga bisa demikian sabar.

Ringkasnya, ia pun dituntut jaksa 3 tahun penjara. Hakim juga memvonis seperti itu. Ia merasa hukuman itu, sangatlah tidak tidak tepat. Ia merasa tidak tahu apapun, dan membantu mencari kontrakan pun beberapa pekan sebelum bom terjadi. Setelah itu, ia juga tidak tahu, jika rumah kontrakan itu sudah kosong.

Ketika hakim menjatuhi hukuman seperti itu, dan media sudah terlanjur memberitakan sebagai orang yang “terlibat” dalam bom Kuningan, Ustad Irun menyerahkan keputusan kepada Alloh. Ia tidak naik banding, tidak kasasi, tidak melakukan peninjauan kembali (PK) seperti orang kebanyaka. “Buat apa?” katanya.

Ia benar-benar tawakal, sabar, dan menyerahkan sepenuhkanya kepada Sang Kholik, penguasa dari segala penguasa. Dan, sekarang, ia mengingat itu semua cukup dengan senyum.

Bagaimana bila nasib seperti ini menimpa kita?

Suami Mulai Melirik…

Ketika Suami Mulai ….

Kali ini, saya harus menyamarkan satu nama teman, yang benar-benar akan marah bila saya sebut namanya. Kita panggil saja dia Melati. Sesuai dengan warna bunga ini, Melati sebenarnya orang yang sangat baik. Dia rendah hati, murah senyum, juga banyak ngomong.

Melati punya kehidupan yang lumayan bagus. Meski tidak bisa disebut orang-orang sosialita, namun cukup berada. Rumah mentereng, mobil mahal pula. Perabotan juga barang mewah semua.

Melati, sejak mahasiswa sudah menjalani pacaran tertutup, back street. Ini karena ibunya tidak setuju terhadap sang pacar, kita namai saja dia Kumbang. Kumbang ini memiliki temperamental keras, dan juga pemberani. Maka, mesti dilarang, ia tetap jalani pacaran tak berizin.

Melati dan Kumbang akhirnya menikah juga, setelah sang Ibu meninggal duani. Mereka menjadi keluarga yang bahagia. Anak pertama lahir. Kebahagiannya pun kian lengkap. Karir si Kumbang juga makin moncer. Dua anak kemudian menyusul. Lengkap sudah kebahagiaan rumah Melati-Kumbang.

Dari rumah yang semula hanya sederhana, akhirnya bisa memiliki rumah kelas super dengan harga lebih di atas Rp 1 Miliar (ini harga kira-kira 10 tahun lalu). Kumbang benar-benar mapan di karirnya.

Dan, Si Kumbang akhirnya tertarik bunga yang lain. Entah gimana ceritanya ia bisa melirik bunga lain. “Saya nggak mau mengingat lagi,” kata Melati. Melati ini entah terbuat dari apa dadanya. Hingga ia memiliki kesabaran luar biasa.

Betapa tidak. Semua proses Kumbang mulai milirik bunga lain, kali ini kita beri nama saja Mawar, ia tahu. Juga ketika Kumbang minta izin menikah, ia mengizinkan dengan tulus.

Tak hanya itu. Dia pula yang menyiapkan semua perlengkapan pernikahan suaminya. Mulai dari mas kawin sampai jas untuk Ijab Kabul. Ia bersikap begitu, sebenarnya berharap ridho Alloh. Melati benar-benar mendukung ketika suaminya ingin poligami. “Semua saya lakukan dengan ihlas,” kenangnya. Soal cemburu, ia tak mengingakari.

Oke. Pernikahan benar-benar terjadi. Sejauh ini berjalan normal. Pengantin baru ini, rupanya, tidak kuat untuk berbagi. Jatah bergilir mulai berkurang. Melati tetap sabar. Sampai suatu ketika, Kumbang tak pernah lagi kembali. Lebih tragis lagi, kewajiban memberi nafkah juga sudah dilupakan.

Maka, ia seperti berdiri di persimpangan. Tetap bertahan dengan suami, ia makin merasa tidak bisa menerima. Di sisi lain, bila berpisah, ia kasihan anak-anaknya. Kebimbangan ini cukup lama menghantui.

Mau tahu keputusannya apa? Melati memilih berpisah. Si Kumbang benar-benar kumbang beracun. Maka, perceraian pun terpaksa ia ambil. Setelah itu, ia jual rumah yang besar itu, kemudian membeli rumah yang sedikit lebih kecil. Sisa uangnya, ia pakai untuk naik haji, membanguan wartel dan sisanya ditabung.

Luar biasa. Sepuluh tahun kemudian, anak pertamanya sudah kulaih, anak keduanya sudah SMA. Anak-anak ia didik sendiri. Ia besarkan sendiri. Ia biayai sendiri. Anak-anaknya, alhmadulillah, menjadi sholeh dan sholehah. Tak ada yang bermasalah. Tak ada yang merongrong. Semua menjalani hidup, seperti tiada masalah.

Meski Kaya, Sabar Tetap Perlu

Sabar dalam Kemakmuran

Siapa bilang sabar hanya dituntut saat kita kesusahan. Alloh Azza wa’Jalla  juga mencoba mengetes kesebaran manusia dalam wujud kemakmuran. Kekayaan, harta yang melimbah, juga merupakan ujian berat.

Ujian kesabaran dengan kemakmuran juga tak kalah berat dengan ujian kemiskinan. Bedanya, jelas mereka yang makmur, lebih nikmat dibanding mereka yang hidup miskin. Kata orang, ujian kemakmuran itu sifatnya meninabobokan kita. Kita dibuat terlena dengan harta dan kemegahan.

Rumah besar, membuat suasana nyaman. Secara fisik, tetapi soal hati nurani, tetap tidak bisa dihitung dengan jumlah kaca jendela atau banyaknya anak tangga rumah. Maka, saya punya teman yang, mudah-mudahan Alloh merahmatinya, bisa keluar dari ujian kemakmuran ini.

Kita sebut saja sahabat ini dengan Rahmat. Postur badannya tinggi, kurus, dengan kaca mata tebal. Gaya bicaranya teratur dan tertata. Rambutnya selalu klimis. Latar belakang keluarganya, dari keluarga menengah. Ia lahir dan besar di Palembang.

Sejak remaja, ia sudah dituntut untuk mandiri. Meski ia anak kesayangan ibunda, karena hanya satu-satunya anak lelaki dari empat bersaudara, namun ia tak manja. Justru menjadi tangguh, setelah ayahanda meninggal. Ia dengan keterbatasan, mencoba menopang hidu keluarganya.

Singkat kisah, ia bisa diterima di sebuah perusahaan asing. Meski ia bukan sarjana marketing, tetapi kemampuan komunikasi yang baik dan sangat persuasif, Rahmat sukses menjadi orang marketing. Perusahaan asing ini bergerak di bidang backbone system telekomunikasi.

Sekitar enam tahun lalu, perusahaan itu memutuskan menutup perwakilan di Indonesia. Ia pun mendapat golden shake hand yang cukup besar. Sekitar Rp 500 juta. Mujurnya, ia bersama dengan beberapa rekan di perusahaan asing itu membangun perusahaan baru, sekaligus menjadi pemegang lesensi perusahaan asal Amerika itu.

Dari sini, kemakmuran seolah menjadi selubung hidupnya. Dari rumah mungil ukuran 48/91, bisa melebarkan menjadi dua kali kavling. Kemudian meningkat menjadi lebih mentereng. Setelah itu, perusahaan pemegang lisensi itu memenangi sejumlah tender pengembangan Telkomsel, XL, juga Indosat.

Lima tahun lalu, ia pernah cerita omzetnya sudah melebihi dari Rp 100 M per tahun. Sekarang, mungkin sudah lima kali lipatnya. Rumahnya pun ikut meningkat. Ia pindah ke town house di daerah Mampang dengan harga hampir Rp 1 M.

Di sini, ia tak bertahan lama. Setahun lalu, ia pindah lagi di rumah yang sangat-sangat mewah (menimal untuk ukuran saya). Harganya, saya taksir, sekitar Rp 3-4 M. Mobilnya yang semula Honda Civic, sekarang Fortuner.

Apakah ia tak sabar menghadapi kemakmuran? Ternyata Rahmat lolos ujian. Ketika kemakmuran pertama menyapa, yang ia lakukan adalah menaikan haji ibu dan mertunya. Setelah itu, ia berangkat haji bersama istri, paman dan bibinya.

Tak hanya itu, ia juga aktif menyumbang beberapa yayasan yatim piatu. Sholatnya, ia tak pernah ketinggalan. Soal kualitas, Alloh yang Maha Tahu. Rahmat juga benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungan. Rahmat, sampai sekarang, rajin beribadah di masjid dekat rumahnya. Ia membuat perusahaan, yang sebenarnya hanya ingin menolong saudara dan teman-temannnya, bukan mencari untung.

Bulan lalu, Rahmat menelepon saya untuk ikut aktif di yayasan yang menyantuni anak kurang mampu. Caranya dengan memberi bantuan bea siswa dan coaching. Langkah ini ia sebut sebagai cara untuk menolong orang lain, tanpa harus orang itu bergantung.

Saya benar-benar iri dengan kesuksesan melampaui ujian kemakmuran ini.

Anak Cacat Sebagai Ujian

Ketika Anak Terlahir Catat

Alloh itu menguji hambanya dengan beragam cara. Salah satunya dengan memberi keturunan yang cacat fisik. Ini puncak kesabaran yang, usia ujiannya, berjalan seumur hidup si anak.

Dulu, ketika tinggal di daerah pinggir kali di daerah Pulogadung, sekitar tahun 87-88, saya memiliki tetangga yang memiliki ketabahan yang luar biasa. Saya lupa nama tetangga itu, tetapi saya bisa mendiskripsikan profilnya. Orangnya tinggi kurus, berwajah loncong, sorot matanya lembut. Rambutnya separo sudah beruban, dan dia orang Jawa Timur.

Usianya, ketika itu, sekitar 60 tahun. Tetapi istrinya jauh di bawah umurnya, beda sekitar 20 tahun. Ini istri yang kedua, karena yang pertama meninggal (jika tidak salah). Dari istri baru ini, ia memiliki tiga anak. Satu lelaki dan dua perempuan.

Qadarulloh, atas kehendak Alloh, anak keduanya dilahirkan dengan kondisi ideot. Tetapi, yang ini, sepengetahuan, sangat parah sekali. Ia hanya bisa mengucapkan kata-kata pendek. Bapa… ibu… makan… dan yang mudah. Ketika itu, usianya sudah lebih 12 tahun lebih. Meski seusia dia. Makan masih disuapin. Berjalan juga mesti didampingi. Ia tidak pernah dibiarkan bermain sendiri.

Inilah kesabaran si ayah. Setiap sore, si ayah selalu mengajak bermain anak kesayangannya. Ia diajak berjalan-jalan ke sekitar rumah. Setiap orang yang ditemui si anak, selalu ditegur dengan suara yang aneh. Nggak jelas makna dan omongannya. Lalu si ayah yang berusaha menerjemahkannya.

Terkadang si ayah juga sengaja menggendong anak perempuan itu. Si adik yang sudah duduk di bangku SMP, juga senang mengajak bermain kakaknya. Agak aneh, si adik yang justru mengasuh si kakak, layaknya mengasuh anak kecil.

Keluarga ini luar biasa. Mereka tidak pernah malu memperkenalkan anaknya. Siapa nama, dan apa yang dideritanya. Si ayah juga nggak malu bermain seperti anak-anak. Kakak dan adiknya juga saling mendukung saudara mereka yang cacat itu.

Dua kali seminggu, si anak diajak sekolah, yang sebenarnya lebih tepat disebut terapi untuk anak-anak yang terbelakang mentalnya. Sampai kami berpisah, karena rumah digusur, sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya.

Saya hanya paham, betapa keluarga ini bisa menjadikan ujian, kecatatan mental anak, tetap sebagai berkah. Mereka tidak pernah mengeluh, apalagi menghardik si anak. Tidak pernah pula suara ribut karena mereka lelah mengurus si anak cacat.

Sungguh, saya sendiri sulit membayangkan akan mampu menjalani ujian seperti itu. Ketika anak saya lahir, telinga kirinya menempel atau lengket di kulit kepala. Seperti disambar petir. Saya hanya bisa melihat dari balik kaca, karena baru saja lahir dan boleh didampingi. Saya hampir menangis. Kakak saya yang menyaksikan ekpresi wajah saya, langsung menemui suster. Eh, alhamdulillah, ternyata telinga itu normal. Bukan lengket, tetapi sekedar menempel.

Satu Kenangan di Rawamangun

Terminal Rawamangun, Suatu Masa

Suatu hari, saya ketemu teman lama. Di terminal Rawamangun, teman SMA itu termangu. Matanya nanar. Wajahnya sembab. Ia menunggu bus. Aku sapa dia. Ia hanya tersenyum kecut.

Gimana kabarnya? Ia tak menjawab, tapi menangis. Dulu, ia teman pengajian di Rohis 36. Aku kenal karena pernah ikut LDK (latihan dasar kepemimpinan) bersama beberapa teman yang lain. DI Rohis, dia paling sering menjadi bendahara jika ada kegiatan keagamaan. Saya sering menjadi sekretaria atau ketua. Jadi, pertemanan cukup baik.

Saya tak tahu harus bagaimana ketika dia tiba-tiba menangis. Di depan umum pula. Dulu, ketika di SMA, ia beberapa kali berkerudung. Zaman itu, memakai jilbab tidak seperti sekarang, masih dilarang oleh Pak Menteri Pendidikan. Dari dulu ia memang terkenal manja. Ke beberapa teman cowok, dia biasa bercengkrama layaknya kakak adik. Saya tidak termasuk yang sering dia curhati.

Nah, sekarang dia di hadapan saya dengan mata sembab. “Aku habis,” katanya. Saya dekatkan diri saya ke arah dirinya. Bukan apa, apa-apa, saya nggak ingin dia setengah teriak, karena di terminal.

“Gue ditinggalin dia,” ujarnya. Cerita selanjutnya, ia dengan suara berat. Kata-katanya terputus-putus. “Gue udah sering nginep di rumahnya,” lanjutnya. Saya hanya menebak apa yang terjadi. “Apa penyebabnya?”

Lama dia nggak menjawab. Kaki kanannya dimain-mainkan. Tangan kiringanya yang mengampit tas, ia tarik untuk mengelap wajahnya. Ia menarik nafas. “Semua salah gue. Gue sering bohong.”Oh, kenapa mesti bohong? Dia ringan menjawab, satu kebohongan, selalu harus diikuti kebohongan lain. Kalimat semacam itulah yang dia sampaikan.

Saya tidak mau melanjutkan. Saya masih bujang, dia juga. Tapi, saya merasa akan ada buntut lain bila terus ngobrol. Saya putuskan untuk pergi, pas saat bus PPD 38 dari Rawamangun-Blok M (sekarang kayaknya sudah nggak ada) yang lewat Mayestik datang. Saya tukar-tukaran nomor telepon kantor (belum ada pager, apalagi HP).

Sebelum berpisah saya sok dewasa. Sedikit memberi nasehat: sabar dan pasti nanti ada jalan terbaik. Ia tersenyum. Dan, berjanji akan menelepon. Juga untuk ketemu lagi.

Setelah lebih dari 15 tahun kenangan itu datang lagi. Entah kenapa. Bukan karena saya ada memori spesial, tetapi kata-katanya itu yang ikut terkenang. Sekali berbohong, maka harus menutup dengan kebohongan selanjutnya. Ini yang berat.

Bagi saya, dia termasuk orang sabar. Jika tidak sabar, mungkin ia sudah bunuh diri, atau melacur karena merasa sudah tidak ada gunanya. Toh ia tetap mencoba berjalan lurus. Saya hanya berharap, sejak saat itu, ia bertobat, dan menjali hidup sebagai muslim yang, Insya Alloh, baik-baik saja.