Bayang-bayang Mertua …

Putaran roda nasib, terkadang memang begitu cepat. Yang kemarin berjaya, hari ini sudah tinggal celana kolor. Ini kisah teman lama. Benar-benar lama. Teman yang lama tidak bertemu,  meski lama

Mertua, oh Mertau (blogs.sun.com)

Mertua, oh Mertau (blogs.sun.com)

berteman.

Teman ini, saya tidak sukai. Entah kenapa. Saya anak terkceil dari tujuh bersaudara, dia juga anak terkecil. Saya dididik agak longgar oleh orang tua. Hampir tidak pernah ke marah, terkecuali sekali saat saya mbolos sekolah. Saya dipikul dengan tampah oleh bapak saya. Sejak saat itu, saya menjadi anak merdeka. Tidak pernah kena marah bapak dan Ibu (mudah-mudahan Alloh merahmati dan mengampuni). Tak beda jauh dengan dia. Dia menjadi kebanggan orang tuanya, karena memang paling ganteng, pintar dan berhati lembut.

Dia dua tahun di bawah saya. Saya perkenalkan dia sebagai Dewo. Teman kita yang satu ini, sewaktu kecil dan remaja, cowok yang biasa-biasa saja. Bukan karena saya tidak suka, tapi memang demikian menurut penilaian saya. Badannya agak pendek, cukup atletis, dan wajahnya lebih ganteng dari saya. Dewo ini, setahu saya, tidak terllau pintar juga. Tidak pernah juara kelas, tidak pernah juga mendapat peringkat yang bagus semasa sekolah. Saya cukup tahun karena satu sekolah. Di samping itu, dua kakaknya adalah teman belajar. Satu di antarnya pernah satu kelas dengan saya.

Dewo selalu dibangga-banggakan oleh kedua orangtuanya. Apalagi saat dia berhasil masuk ke sekolah calon perawat (Akper). Karena orang kampong, Dewo dibanggakan oleh ibunya sebagai “dokter”. Dan, kebetulan istrinya memang seorang dokter (lebih tepatnya calon dokter, karena mahasiswa kedokteran). Meski tidak terlalu akrap, tetapi setiap ada kesempatan bertemu, kami ngobrol cukup sering.

Dia mengisahkan tentang masa-masa dia saat jauh dari orang tua. Meski orang tuanya cukup berada, dia tetap sering pula mengalami masa-masa pahit di rantau. Itu pula yang membuat dia mencari istri yang mempunyai prospek masa depan lebih bagus. “Orang tuanya juga kaya,” katanya. Karena itu, dia sering pulang kampong membawa mobil. Sudah pasti, mobil mertuanya.

Bukan itu yang hendak saya tulis di sini. Tapi bagaimana dia menjalani hidup di bawah bayang-bayang mertua yang jauh berada, jauh lebih kaya dan dari keluarga terpandang. “Kalau nggak sabar, saya sudah gila sejak lama,” katanya.

Orang tuanya, meski member bantuan ekonomi, tetapi juga campur tangan dalam keluarga yang cukup pelik. “Hampir semua masalah keluarga saya, dilaporkan ke mertua. Setiap ada masalah, saya yang kena marah,” katanya. Toh Dewo tetap menjalani keluarganya. “Itu sudah resiko saya. Saya yang memilih dia. Saya yang mencintai dia,” kata Dewo.

Sadar akan posisi sebagai menantu yang “kalah status”, Dewo akhirnya mencari sambilan. Dia berbisnis di luar jam kerja. Ia jual beli apa saja, yang dipandang bisa mendatangkan uang. Ya, tepatnya ia menjadi calo. Tanah, mobil, rumah, biasa ia tangani. Ia bisa mencarikan pembeli, dan komisi pun lumayan. Dari hasil bisnis ini, Dewo ingin rumah tangga yang sesungguhnya. “Ya yang mandiri. Nggak minta ke mertua,” katanya.

Dewo memutuskan untuk mengontrak rumah, untuk sementara, sambil menunggu rumah yang dibangun selesai. Inipun mendapat tantangan dari istri dan mertuanya. “Saya nekat. Kapan lagi saya bisa hidup merdeka,” katanya.

Pelan tapi pasti, kehidupan Dewo kian berkembang. Setelah memiliki rumah, yang cukup bagus, dia mencicil mobil. “Pokoknya, saya harus bisa bebas dari bayang-bayang mertua,” katanya. Saat membangun rumah, dia tidak minta bantuan ke mertua. Meski mertua mengulurkan bantuan, dia tetap menolak. Cuma, karena istrinya ini sangat manja dengan orang tuanya, maka secara sembunyi-sembunyi istrinya masih juga terima “donasi” dari orang tuanya. “Saya nggak mau. Kalu saya terima, pasti mereka campur tangan,” katanya.

Dewo satu mulai merangkak naik. Ia telah menyelesaikan sarjana keperawatan, dan ingin kuliah kedokteran. “Saya nggak mau hanya begini terus,” katanya. Ibarat permaian sepak bola, Dewo ini terlalu rajin menyerang, lupa bertahan. Dia sangat mengejar materi, tetapi lupa menata pondasi rumah tangga. Istrinya masih terus “menetek” ke ibunya. Dan, persoalan keluarga, akhirnya muncul juga. Apa itu? Momongan.

Inilah yang membuat suasana rumah tangga Dewo terasa hambar. Mereka sudah ikut terapi, dan segala macam upaya agar punya momongan, tetapi kok ya belum berhasil juga. “Ah sudah ke mana-mana. Dari yang ilmiah sampai yang klenik sudah saya lakukan, semuanya nggak ada hasilnya,” katanya. Mertuanya membuat suasana makin panas, karena selalu menuduh Dewo yang nggak bisa member dirinya cucu. “Siapa yang nggak marah coba,” katanya. Dewo toh tetap berusaha sabar. Ia kahirnya tes ke dokter, dan hasilnya memang menunjukkan dirinya lelaki normal.

Belakangan, situasi rumah tangga makin meruncing. Segala sesuatu selalu berujung pada pertengkaran. Jika terjadi pertengkaran, ibu mertuanya selalu intervensi. Dan, Dewo hanya bisa mengalah, dan mengalah. “Tapi, saya kan nggak bisa terus menerus begitu,” katanya. Suatu ketika, dia lawan mertuanya.

Hmm, hasilnya? “Saya disuruh meninggalkan rumah. Jelas saya nggak mau, itu rumah saya,” katanya. Karena Dewo tak mau pergi dari rumah itu, ia diusir layaknya orang kere yang berteduh di depan rumah. Dewo kembali mengalah, karena tidak ingin berakibat lebih buruk. Ya, bagaimana Dewo tidak pergi kalau istri dan mertua datang membawa preman.

Karena belum resmi cerai, ia berusaha komunikasi dengan istrinya. Tapi, si istri sudah tidak mempan dirayu atau dibujuk. Ujung cerita, Bowo harus meninggalkan rumah itu hanya dengan satu tas pakaian. Semua harta yang hampir sepuluh tahun dia kumpulkan dari keringatnya, tak boleh dibawa. Jangankan dibawa, untuk sekedar berbagi pun tidak bisa. “Semua dikuasai istri dan mertua saya,” kata Dewo.

Mengapa Dewo demikian lembek, dan gampang mengalah? “Harta nggak bisa dibawa mati. Biar aja, yang becik ketitik, yang olo ketoro,” katanya. Maksudnya, lambat laut orang akan tahu siapa di pihak yang benar, dan siapa yang mendzolimi.

Yang paling menyakitkan, kata Dewo, saat dirinya pulang ke orang tuanya. Sang Ibu tak henti-hentinya meratap. “Ibu awalnya nggak bisa terima,” kata Dewo. “Tapi saya jelaskan, bahwa nanti saya akan mendapat ganti yang lebih baik. Saya yakin itu,” katanya. Dewo menyikapi peristiwa hidupnya hanyalah seperti buih kecil dalam gelombang hidup. “Kalau Alloh menghendaki, jangankan hanya rumah dan mobil, nyawa dan seluruh keluarga kita bisa habis seketika,” katanya.

Yang penting, menurut Dewo sudah berusaha. Dia sudah meminta bantuan polisi. Sudah menggugat ke pengadilan agar harta gono-gini bisa dibagi secara adil. “Kalau putusan pengadilan mengalahkan saya, ya nanti ka nada pengadilan agung yang lebih adil,” katanya. Maksudnya, tak lain pengadilan di hadapan Sang Kholik.

Kini, Dewo bersyukur karena dia terbebas dari kata-kata buruk seorang mertua. “Yang lebih penting lagi, saya bisa sering pulang nengok orang tua. Dulu setahun paling hanya sekali,” katanya. Padahal, jarak kota tempatnya bekerja dengan kampong halaman, hanyalah dua jam perjalanan. Si Ibu sekarang sudah kembali tersenyum. Dewo juga sudah mulai melupakan masa lalu. “Saya masih punya masa ini,” katanya sambil menunjuk ke dadanya. Mungkin maksudnya, ia punya hati yang lebih putih. Lebih jernih. Barangkali.