Kehilangan Jabatan …

“Mas, gimana nih, saya harus kehilangan jabatan saya? ” kata teman lama saya, suatu kali.

kursi kekuasaan

kursi kekuasaan

Saya tertegun. Saya hanya membayangkan bagaimana bila hari itu, nasib itu, terjadi pada diri saya. Pasti ada perasaan jengkel, mangkel, merasa dihinakan, dan yang paling penting: malu.

Saya lama tertegun. Saya belum menemukan kata-kata yang paling tepat untuk memberi reaksi. “Kenapa? Kok bisa?” saya bertanya sekenanya, hanya sekedar menghilangkan perasaan ngilu di hati saya. Dia lantas bercerita panjang lebar tentang bosnya yang dianggap tidak bisa memahami potensi dirinya. Ia merasa si bos tidak obyektif memberi penilaian.

Saya hanya menasehatinya begini. “Kawan (saya sebut nama teman itu), nggak usah terlalu dipikirkan. Alloh sedang memainkan skenario. Percayalah, ini yang terbaik buat kamu. Kita belum tahu apa yang sedang direncanakan Alloh buat kamu,” saya sok menjadi ustad.

Saya tunggu reaksi teman ini. “Begitu ya?” katanya. Dia terlihat agak  lama merenungi kata-kata saya. Entah apa yang dipikirkan. Dia lalu mengalihkan pembicaraan. Ketika kami berpisah, dia membisikan ke telinga saya. “Thanks ya nasehatnya dan suportnya,” katanya.

Kami berpisah. Pikiran saya langsung berputar ke belasan tahun silam, ketika mengawali karir sebagai wartawan.  Setelah sekian lama bertugas sebagai reporter, kami ada promosi untuk menjadi jabrik (penjaga rubrik) ya sebenarnya sama dengan redaktur. Kala itu, kantor lama, belum ada sistem penilaian, belum ada proses ini itu. Pokoknya promosi.

Dari tujuh orang seangkatan saya, hanya dua orang yang gagal naik pangkat (jika tak salah ingat). Salah satunya saya. Ketika itu, masih muda dan bujang, yang terpikir adalah segera keluar dari kantor tersebut. Saya menilai ada yang tidak fair dalam proses pengangkatan itu. Tapi, saya yang dididik dengan budaya Jawa, punya eweuh pakeweuh untuk sekedar bertanya mengapa seorang Pracoyo, tidak layak dipromosikan. Perasaan itu saya pendam, termasuk ke keluarga dan pacar. Saya tidak cerita. Saya hanya murung. Dan, saya sudah sampai pada keputusan untuk mencari pekerjaan lain atau melamar ke lain tempat. Pilihan lain, saya menyelesaikan kuliah dulu — tinggal menyelesaikan skripsi.

Di saat galau itu, ada seorang senior yang mencoba membantu saya. Dia atasan langsung, dan tahu tentang potensi dan kemampuan saya. Saat rapat redaksi, teman ini yang pertama angkat bicara. Dia dengan suara agak keras, mempertanyakan mekanisme promosi. “Menurut saya, Pracoyo layak untuk ikut promosi. Tulisan mengalir, liputannya bagus,”  begitu kira-kira senior saya itu berargumentasi. Saya tercekat. Hati seperti ingin meledak. Ingin membela diri, tapi merasa nggak enak hati. Saya takut dicap berambisi.

“Begini. Segela sesuatu sudah dipertimbangkan. Pracoyo itu nggak bisa dipromosikan karena dia lulusan IKIP…,” begitu seorang bos membela keputusannya. Jika petir menyambar diri saya, mungkin masih kalah sakitnya dengan jawaban itu.

Benar saya lulusan IKIP Jakarta. Saya tidak juara kelas saat kuliah. Tapi, dari semua angkatan saya itu, sayalah yang sejak kuliah semester pertama sudah rajin menulis artikel di media. Jika tak salah pula, tulisan sayalah yang sekedar diubah ejaannya oleh redaktur. Tidak pernah ada cerita diminta liputan lagi, apalagi naskahnya sampai disobek-sobek.  Antara marah, jengkel, kecewa, juga malu, saya rasakan. Jika alasan kemampuan tulisan dan liputan saya yang jelek, saya masih bisa menerima. Tapi, kenapa alasan almamater yang dijadikan landasan? Sungguh nggak masuk akal!

Makin kuatlah niat saya untuk keluar dari kantor itu. Di saat hati penuh gejolak itu, saya mendapat penugasan untuk mewawancarai Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Setelah saya mengajukan surat, menemui sekretaris, tinggal saya menunggu. Di saat menunggu itulah, saya mendapatkan pencerahan tentang artinya sabar.

Dia bukan siapa-siapa. Bukan ustad. Dia salah satu staf, sekaligus teman Wiyogo. Dia bercerita, bahwa pangkatnya sudah  sepuluh tahun tidak naik. Banyak teman-temannya banyak yang sudah menjadi jenderal. Dia sendiri masih kolonel, hingga pensiun.  Bertahun-tahun dia nggak dapat jabatan, sampai diajak oleh Wiyogo itu. “Ya nggak papa. Kalau memang belum rejeki kita, mau upaya gimana juga nggak dapat,” begitu dia menghibur diri.

Dia bukan tanpa usaha. Ada beberapa upaya sudah dilakukan, tetapi ya itu tadi, semua seperti membentur tembok. “Jabatan itu tidak harus dikejar. Buat apa?  Garis tangan sudah ada. Ya kalau dapet? Kalau nggak, bisa stres. Lihat aja yang punya jabatan, apa mereka nggak pusing mikir kehilangan jabatan?” begitu kata bapak itu. Sampai sekarang saya tidak berhasil mengingat nama bapak itu.

Sejak pertemuan itu, saya kok lebih tenang. Saya hanya berpikir, dia kuat dan tabah belasan tahun nggak punya pekerjaan, kok saya yang hanya tidak dipromosikan sudah loyo. Mutung. Saya terus berusaha, agar omongan bos saya,  tentang latar belakang pendidikan saya,  tidak ada benarnya. Saya menjadi sedikit dendam: ingin membuktikan diri saya bisa. Bisa lebih baik malah dibanding yang lain. Dan, benar, akhirnya saya dipromosikan tak lama kemudian. Justru dua teman saya akhirnya (karena satu kasus) justru digrounded, bahkan ada yang dipecat. Saya mestinya berterima kasih ke bapak tadi.