Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur, sedang mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi untuk kemudian datang kembali.
Kali ini Si Semut berkata, “Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana.
Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun kira-kira, apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?”
Kata Si Capung,”Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan
nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih
berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja rencanamu, dan aku rencanaku.”
Semut berpikir, “Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku.”
Dan semutpun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu.
Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi. Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.
Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap di atasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi dua.
Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri.
“Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya -sudah berakhir, Aku laksanakan
rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan
dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang
lain.”
Kita di atas saya ambil dari sebuah situs tentang agama. . Cerita ini, bagi saya menggambarkan, betapa kita merasa yakin dan mampu mengerjarakan sesuatu, toh ada juga faktor lain membuat rencana itu terkadang meleset, bahkan berakhir dengan air mata.
Saya menjadi teringat seorang teman, yang sangat angkuh. Sombong dan bahkan rakus. Termasuk tentang perempuan. Sebut saja dia si Jumhur. Orang ini, banyak berdandan layaknya perempuan. Dia rajin ke salon, dan minta layanan layaknya wanita. Dari creambath, facial, hingga pedicure dan madicure. Ke salon pun rutin. Seminggu bisa tiga kali, layaknya makan obat saja, sehari tiga kali.
Selain gemar ke salon, dia juga gemar ke tempat pijat. Tapi bukan sembarang pijat, karena ini membuat badan menjadi loyo, bukan menjadi segar. Obsesi Si Jumhur adalah menjadi pejantan tangguh. Selain di playboy, dia memang lelaki yang suka jajan.
Dia bisa melakukan semua itu, karena dia memang memiliki segalanya. Muda, ganteng, gagah, klimis, dan yang penting dompetnya mungkin setebal tas pembungkus laptop. Isinya tak pernah habis.
Dia dulu seorang wartawan sebuah harian sore. Kami sering liputan bersama. Kelebihan dia dibanding saya, dia jago menyenangkan orang lain. Jago membujuk orang lain, dan tentu merogok koceknya secara halus. Sekarang, karena pertemanan yang luas, dia ikut memilki saham di beberapa perusahaan. Mulai dari lapangan golf di Bogor, perusahaan tambang, dan sampai perusahaan pengadaan bom untuk bahan peledak di areal tambang.
Bagaimana dia bisa melakukan itu semua? Jasa. Ya, dia mendapatkan imbalan atas jasanya menguruskan perizinan di semua instansi pemerintah. Termasuk yang paling sulit, dari kalangan militer. Setelah sukses, dia meminta sekian persen saham kosong di perusahaan tersebut. Dia tidak setor apapun, hanya modal kepandain menjual jasa tadi.
Terang saja, bila Jumhur bisa memiliki rumah dengan kolam renang dan taman cukup untuk bermain futsal di Kemang Pratama, Bekasi. Tidak hanya itu, ia juga memiliki rumah sangat mewah di daerah Blok S, Jakarta Selatan. “Yah kecilah. Yang penting dekat dari kantor,” katanya.
Jumhur ini juga pandai beribadah. “Biar imbanglah hidup ini,” katanya. Beberapa tahun lalu, dia memboyong seluruh keluarga besarnya, hampir 12 orang untuk pergi ibadah haji. Semua menggunakan fasilitas ONH Plus, yang selangit itu. Jika tak salah, setiap tahun dia juga memberangkatkan anggota keluarga yang lain untuk haji. Wah, pokoknya, bagi keluarganya, Jumhur ini ibarat malaikat. Dia penolong.
Beberapa waktu lalu, dia menelepon saya, sekedar tanya kabar. Jika dia telepon, saya selalu bertanya tentang perkembangan bisnisnya. Setiap itu pula dia berkisah menambah kantor baru. Kadang saya iri, kapan saya bisa seperti dia. Saya pernah secara kelakar, “Kapan kamu bagi-bagi bisnismu.” Dia menjawab hampir selalu sama. “Ya gampang itu. Nantilah,” katanya.
Kami pernah makan di sebuah kafe yang terletak di Hotel Parki Line, Jalan Casablanka. Dia harum. Dandy, dan murah senyum. Saya lebih banyak mendengar yang dia ceritakan. Ceritanya berliweran antara maksiat dan ibadah. Dia cerita tentang baru kencan dengan seorang artis top yang memiliki (maaf) payudara indah. Setelah itu menceritakan tentang baru saja pulang umroh. Jika saya singgung, dia hanya tertawa. “Tenang saja bos, Belanda masih jauh. Kita masih muda, nikmati saja hidup,” katanya. Hampir saja, saya mengangguk.
Saya bingung menentukan kawan yang satu ini. Apakah dia termasuk orang yang sabar dalam beragama ataukah tidak. Apakah dia sabar dalam berbisnis? Apakah dia sabar mengendalikan rumah tangga (yang menurut dia aman-aman saja)?
Saya hanya khwatir, ia bernasib seperti lalat tadi. Dia terkena sabetan takdir buruk di ujung hayat. Bukankah ada orang-orang yang dikisahkan sebagai ahli ibadah yang membuat jarak antara dirinya dengan surga hanya beberapa langkah, tetapi tiba-tiba takdir mendahuluinya, hingga menjadi ahli neraka?
Saya khawatir, orang menuliskan kisah ini termasuk di antaranya. Hindarkan ya Rahman.