Di Antara Dua Dunia …

Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur, sedang mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi untuk kemudian datang kembali.

Kali ini Si Semut berkata, “Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana.
Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun kira-kira, apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?”

Kata Si Capung,”Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan
nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih
berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja rencanamu, dan aku rencanaku.”

Semut berpikir, “Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku.”

Dan semutpun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu.

Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi. Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.

Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap di atasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi dua.

Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri.

“Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya -sudah berakhir, Aku laksanakan
rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan
dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang
lain.”

Kita di atas saya ambil dari sebuah situs tentang agama. . Cerita ini, bagi saya menggambarkan, betapa kita merasa yakin dan mampu mengerjarakan sesuatu, toh ada juga faktor lain membuat rencana itu terkadang meleset, bahkan berakhir dengan air mata.

Saya menjadi teringat seorang teman, yang sangat angkuh. Sombong dan bahkan rakus. Termasuk tentang perempuan. Sebut saja dia si Jumhur. Orang ini, banyak berdandan layaknya perempuan. Dia rajin ke salon, dan minta layanan layaknya wanita. Dari creambath, facial, hingga pedicure dan madicure. Ke salon pun rutin. Seminggu bisa tiga kali, layaknya makan obat saja, sehari tiga kali.

Selain gemar ke salon, dia juga gemar ke tempat pijat. Tapi bukan sembarang pijat, karena ini membuat badan menjadi loyo, bukan menjadi segar. Obsesi Si Jumhur adalah menjadi pejantan tangguh. Selain di playboy, dia memang lelaki yang suka jajan.

Dia bisa melakukan semua itu, karena dia memang memiliki segalanya. Muda, ganteng, gagah, klimis, dan yang penting dompetnya mungkin setebal tas pembungkus laptop. Isinya tak pernah habis.

Dia dulu seorang wartawan sebuah harian sore. Kami sering liputan bersama. Kelebihan dia dibanding saya, dia jago menyenangkan orang lain. Jago membujuk orang lain, dan tentu merogok koceknya secara halus. Sekarang, karena pertemanan yang luas, dia ikut memilki saham di beberapa perusahaan. Mulai dari lapangan golf di Bogor, perusahaan tambang, dan sampai perusahaan pengadaan bom untuk bahan peledak di areal tambang.

Bagaimana dia bisa melakukan itu semua? Jasa. Ya, dia mendapatkan imbalan atas jasanya menguruskan perizinan di semua instansi pemerintah. Termasuk yang paling sulit, dari kalangan militer. Setelah sukses, dia meminta sekian persen saham kosong di perusahaan tersebut. Dia tidak setor apapun, hanya modal kepandain menjual jasa tadi.

Terang saja, bila Jumhur bisa memiliki rumah dengan kolam renang dan taman cukup untuk bermain futsal di Kemang Pratama, Bekasi. Tidak hanya itu, ia juga memiliki rumah sangat mewah di daerah Blok S, Jakarta Selatan. “Yah kecilah. Yang penting dekat dari kantor,” katanya.

Jumhur ini juga pandai beribadah. “Biar imbanglah hidup ini,” katanya. Beberapa tahun lalu, dia memboyong seluruh keluarga besarnya, hampir 12 orang untuk pergi ibadah haji. Semua menggunakan fasilitas ONH Plus, yang selangit itu. Jika tak salah, setiap tahun dia juga memberangkatkan anggota keluarga yang lain untuk haji. Wah, pokoknya, bagi keluarganya, Jumhur ini ibarat malaikat. Dia penolong.

Beberapa waktu lalu, dia menelepon saya, sekedar tanya kabar. Jika dia telepon, saya selalu bertanya tentang perkembangan bisnisnya. Setiap itu pula dia berkisah menambah kantor baru. Kadang saya iri, kapan saya bisa seperti dia. Saya pernah secara kelakar, “Kapan kamu bagi-bagi bisnismu.” Dia menjawab hampir selalu sama. “Ya gampang itu. Nantilah,” katanya.

Kami pernah makan di sebuah kafe yang terletak di Hotel Parki Line, Jalan Casablanka. Dia harum. Dandy, dan murah senyum. Saya lebih banyak mendengar yang dia ceritakan. Ceritanya berliweran antara maksiat dan ibadah. Dia cerita tentang baru kencan dengan seorang artis top yang memiliki (maaf) payudara indah. Setelah itu menceritakan tentang baru saja pulang umroh. Jika saya singgung, dia hanya tertawa. “Tenang saja bos, Belanda masih jauh. Kita masih muda, nikmati saja hidup,” katanya. Hampir saja, saya mengangguk.

Saya bingung menentukan kawan yang satu ini. Apakah dia termasuk orang yang sabar dalam beragama ataukah tidak. Apakah dia sabar dalam berbisnis? Apakah dia sabar mengendalikan rumah tangga (yang menurut dia aman-aman saja)?

Saya hanya khwatir, ia bernasib seperti lalat tadi. Dia terkena sabetan takdir buruk di ujung hayat. Bukankah ada orang-orang yang dikisahkan sebagai ahli ibadah yang membuat jarak antara dirinya dengan surga hanya beberapa langkah, tetapi tiba-tiba takdir mendahuluinya, hingga menjadi ahli neraka?

Saya khawatir, orang menuliskan kisah ini termasuk di antaranya. Hindarkan ya Rahman.

Meninggalkan Kejayaan …

Anda bosan hidup? Ada yang memilih mengakhiri dengan bunuh diri. Jika, bosan miskin, pilihan apa yang bisa diambil? Banyak. Ada yang merampok. Ada yang mencari pesugihan. Ada pula yang korupsi?

Mau pilih yang mana? Rasanya kok nggak ada satu pun yang terpuji. Lantas, bagaimana dong jika kemiskinan terus mengombang-ambingkan bagai ombak di laut? Wah, ini yang berat. Pilihannya antara tetap mencoba bertahan dengan kemiskinan, atau dengan mencoba bekerja keras. Jika sudah banting tulang, dari pagi sampai pagi lagi, ternyata masih juga miskin, show what?

Ini yang tidak mudah. Ada satu teman yang memilih tetap miskin, meski peluang untuk menjadi kaya sebenarnya terbuka lebar. Kita sebut satu nama teman kita dengan Tanri. Dia ini seorang teman lama, seorang dosen, analisi, dan beberapa kali muncul di teve sebagai pengamat.

Saya dan Tanri, sudah berkawan sekitar 10 tahun. Kami dikenalkan oleh seorang teman di sebuah kafe di Hotel Darmawangsa, Jakarta Selatan. Kami ngobrol ke sana kemari. Setelah perkenalan itu, kami menjadi sangat akrap.

Kami sering berkelakar tentang segala macam. Dia lebih banyak memiliki joke, dibanding saya. Sehingga, saya lebih sering menjadi pendengar. Dia tinggal di daerah Kebayoran Baru, seorang diri. Ia menyewa satu rumah, sekaligus tempat kantor pribadinya. Sedangkan keluarga, istri dan anak-anak tetap tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah.

Dia memiliki kemampuan untuk berteman dengan kalangan militer yang cukup jauh. Dia sering makam bersama jenderal, atau juga sesekali pergi dengan jenderal ikut kunjungan kerja atau kegiatan lain. Dia juga diminta seorang pengusaha untuk menjadi semacam think thank untuk riset perusaahaan itu.

Dari sini, dia bisa mengumpulkan banyak uang. Semula di Jakarta sering naik taksi, lantas memiliki sebuah mobil sedan yang cukup mahal. Dia juga sering ke spa atau cara relaksasi yang lain. Bajunya yang dulu terkesan kuno, sekarang semuanya bermerek, wangi dan juga bergaya. Bahkan, dasinya juga bikinan luar negeri. Jika muncul di tv tampak benar dia orang yang berkelas.

Bertambah lama, bisnis pengusaha itu melambung. Sangat tinggi malah. Di sinilah Tanri penuh konflik batin. Sebenarnya dia tidak suka dengan cara-cara mitra kerjanya itu dalam menjalankan bisnis. Kalau saya lebih senang menyebut “pengusaha handuk”. Ya, gambarannya seperti ini, Ia hanya modal handuk satu buah, tetapi bisa mengambil beribu-ribu liter air. Caranya, dia celupkan, diperas. Celup lagi, peras lagi. Begitu seterusnya. Ia hanya perlu “sumur” untuk mencelupkan handuknya.

Akhirnya sadarlah Tanri. Ia seperti berdiri di tebing jurang. Jika salah melangkah, badanya terpelanting dan akhirnya berkalang tanah. Sebelum itu terjadi, Tanri sudah berusaha untuk mengerem pengusaha handuk tadi untuk beralih profesi. Yang lebih terhormat, lebih penuh hasil guna.

Akhirnya Tanri memilih mengalah. Dia rela melepaskan semua kemewahan duniawi. Dia menyingkir dari gemerlapnya dunia, dan menyepi di sebuah kota kecil. Apalagi dia punya kegemaran baru, yakni dunia nujum.

Beberapa bulan lalu, saya mampir ke rumahnya. Tak ada yang berubah pada dirinya. Penuh tawa, bicarnya meledak-ledak, dan kalimatnya senantiasa tertata rapi. Ngobrol dengan Tanri, seperti kita sedang melakukan wawancara live di tv. Semua kalimat tersturktur dan tertata. Penuh isi.

Kami berdebat tentang mitos Nyi Roro Kidul, cukup lama. Saya sempat sedikit emosi, karena dia merasa benar sendiri. Oh ya, bagaimana dengan kehidupan sekarang? Yah, hidup yang sederhana. Ia menumpang di rumah mertua. Ia sekarang hidup dari mengajar, dan sesekali dari honor tulisan di koran atau majalah bila ada yang meminta. Ia berusaha untuk hidup dalam bingkai kebenaran. Ia tak muluk-muluk. “Yang penting cukup,” katanya.

Kami berpisah dengan kepedihan. Saat kami sedang seru-serunya berdiskusi tentang politik terbaru, tiba-tiba hujan lebat menghajar. “Di sini nggak pernah banjir kok,” katanya.

Entah apa yang terjadi, hujan seperti ingin memakan omongan teman kita tadi. Benar-benar lebat. Dalam sekejab, beranda rumahnya terendam air. Air bahkan mulai juga menerobos ke dalam rumah. Akhirnya, saya harus pamit. Bukan saya tak mau membantu, tetapi karena ingin memberi kesempatan untuk menanggulangi banjir di rumahnya. Apalagi, saya juga harus mengejar pesawat ke Jakarta. “Ya, pokoknya terima kasih,” katanya. Meski dalam hantaman banjir, dia tetap tersenyum.

Beberapa pekan setelah di Jakarta, saya membeli sebuah majalah terbitan Ibukota. Di majalah itu, ada satu tulisan tentang teman sejawat, yang menjadi pengusaha tadi. Saya sms Tanri, dia lama tak membalas. Ketika sms itu datang, saya terperangah dengan jawabannya. “Saya sudah duga: lambat atau cepat dia akan tersandung. Tapi, saya tidak menduga kasus yang menjeratnya begitu buruk,” tulisnya. Kalimat aslinya saya lupa, tapi isinya seperti itu. Dan, di bagian akhir dari baku kirim sms begini. “Pracoyo, orang tersandung itu tidak pernah oleh batu yang besar. Selalu batu kecil.”

Saya cukup lama menebak isi dari pesan itu. Yang ia maksud pasti bukan begini kan? “Iya kalau batu besar, namanya menabrak batu.” Jadi, apa makna pesan tadi? Anda bisa memberi jawaban…

Berjalan di Atas Tali…

catering import

catering import

Seperti menepuk air di dulang, terpecik ke muka sendiri. Aib keluarga, bila diceritakan hanya akan mengotori wajahnya sendiri. Tapi, seorang teman rela melakukan itu.

Panggil saja teman kita dengan nama Wahono. Dia teman saya dalam sebuah organisasi. Kami berteman baru sekitar 4 tahun ini. Tetapi, rasanya, kami sudah mengetahui semua rahasia hidup. Paling tidak saya tahu tentang siapa dia.

Wahono ini seorang pengusaha. Dia bersama istrinya merintis bisnis jasa catering sudah cukup lama. Keduanya, dulu karyawan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Saat merasa jemu bekerja, Wahono mencoba-coba menjual makanan di antara teman-temannya saat makan siang. Beberapa teman dia tawari untuk makan siang dari dirinya. Karena makanannya banyak yang memuji, dan banyak suka, istri Wahono lantas mencoba menyeriusinya.

Mereka lantas menawarkan ke peruasahaan di Kawasan Industri Pulogadung dan Cikarang. Semula hanya satu perusahaan yang tertarik memakai jasa Wahono. Tapi, ini pun sudah cukup untuk menguatkan tekad Wahono untuk melepaskan status sebagai karyawan. Setiap dini hari, Wahono sudah di pasar. “Saya yang belanja,” katanya.

Meski satu perusaaan yang memakain jasanya, rupanya ordernya cukup tinggi. Ini karena perusahaan ada tiga shift kerja. Dan setiap shift harus menyediakan 150 paket nasi. Sekitar tujuh tahun lalu, Wahono pernah sempat keteteran. Ada 5 perusahaan yang meminta order penyediaan catering.

Karena keuntungan sudah banyak, Wahono dan istri pun merencanakan untuk menenuiakan ibadah haji. Ia menyetor ke bank, dan sudah mencari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) untuk persiapan. Nah, di saat persiapan itu, kok ujian datang tanpa terasa. Tiba-tiba lonjakan pesanan cateringnya meningkat tajam. Dari informasi mulut ke mulut, banyak perusahaan yang menawarkan agar Wahono menjadi vendor.

Saya tidak tahu pasti berapa jumlahnya. “Pokoknya, sampai nggak sanggup melayani,” kata Wahono. Nah, karena godaan keuntungan besar di depan mata, akhirnya niat ibadah haji itu mereka batalkan. Mereka berpikir, tahun berikutnya toh masih bisa. Dan, kesempatan mendapatkan keuntungan berlipat toh belum tentu datang lagi.

Mereka kembali berkutat mengurus dunia. Di saat itulah, Wahono harus mengela nafas. “Rumah saya terbakar, hampir semuanya habis,” katanya. Bisa dibayangkan betapa ngilu dan perih hati Wahono. Keuntungan di pelupuk mata, akhirnya justru menjadi petaka. “Mungkin saya terlalu ngoyo, mengejar untung jadi kena sentil dari Alloh,” katanya.

Wahono tidak terpuruk. Kebakaran rumahnya benar-benar ia maknai sebagai peringatan agar tak rakus. “Wong sudah mau ibadah kok ya masih mikirin bisnis,” katanya. Ia pun lantas berusaha bangkit dari petaka itu. Pelan-pelan, ia kumpulkan tenaga dan dana. Ia kais satu demi satu keping harapan, juga keuntungan untuk membangun kembali bangunan rumah, juga bangunan “semangat hidup”.

Akhirnya, dua tahun setelah kebakaran melanda, Wahono dan istri berhaji. Di tanah suci, dia masih pula mendapat cobaan. “Dompet saya hilang. Semua bekal uang saya ada di situ,” katanya. Beruntung ada teman-teman yang membantu. Pengurus KBIH juga memberi pinjaman. Maka, “selamatlah” hidup di tanah rantau itu.

Tiba di Tanah Air, berbagai cobaan datang silih berganti. Pertama, ayah yang dicintai meninggal. Berikutnya, Ibu mertuanya meninggal. Belum sampai di situ. Istri tercinta, Nani, terkena penyakit yang sampai sekarang belum jelas benar. Yang dirasakan Nani, di bagian perut, seperti terus diperas-peras, badan mendidih, dan lemas. Belum lama ini, Nani dirawat di rumah sakit berhari-hari. Kini, Nani masih menjalani terapi dan juga pengobatan Ruqyah.

Wahano khawatir istrinya sakit karena “dikerjain” tetatangganya. Kok bisa? Ceritanya, tahun lalu, ada satu klien perusahaan yang sudah lama menjadi langganan, mendakdak menghentikan kontrak di tengah jalan. Selidik punya selidik, ternyata orang kepercayaannya selama ini yang menggergaji. Dia ingin mengambil alih. Tetangga itu, selama ini sangat dia bantu. Saat mereka menganggur, suami istri direkrut untuk membantunya. Pasangan suami istri itu juga dipercaya untuk menjadi semacam manager. Si istri mengurus dapur, dan suami mengurus pengiriman. Wahono tentu menegur dengan tindakan itu. Nah, saat itulah keluar ancaman. “Ya, dia ngancam mau ngerjain kami,” kata Wahono.

Keduanya akhirnya dipecat. Dan, entah yang terjadi selanjutnya. Apakah suplai di perusahaan itu, jadi direbut pembantunya atau tidak. Yang pasti, Wahono setelah itu harus menjalani upaya marketing ke beberapa perusahaan lain. Ya, biar omset tidak turun drastis.

Ujian belum selesai. Tiba-tiba, anaknya tersangkut masalah. Menantunya terlibat cinta terlarang dengan perempuan lain. Awalnya, mereka tidak mau campur tangan. Hanya saja, anak dan menantu itu semakin tidak harmonis. Bahkan, menantunya konon pernah mengambil uang kas perusahaan. Akhirnya, Wahono meminta agar anaknya bercerai saja. Dia yang mengurus, dan yang mengkongkosi. “Ya gimana lagi, udah nggak bener?” katanya.

Setelah bercerai, Wahono berharap masalah tidak ada lagi. Tidak tahunya, giliran si anak yang menikah diam-diam. “Dia menikah dengan lelaki sudah beristri. Tanpa ngasih tahu ke orang tuanya,” kata Wahono kesal. Yang lebih kesal lagi, si anak itu selain tak minta izin, juga menikah tanpa kehadiran Wahono sebagai wali.

Toh Wahono ini tidak pernah mengeluh. Dia bercerita seperti sedang baik-baik saja. Seolah semua berjalan normal. Hanya istrinya yang sering tensinya naik. Wahono sangat tegar menghadapi semua cobaan itu. “Mau bagaimana lagi? Nangis juga nggak menyelesaikan masalah,” katanya tertawa. Bahkan, ketika kami berjumpa, banyak canda yang dia lontarkan. Ia tetap segar dan tegar.