Mengejar Jabatan …

Saya memiliki teman yang biasa dipanggil Ndoro Kakung. Ini karena tingkah lakunya yang seperti seorang kakek. Suka menasehati, tapi dia sendiri yang paling banyak melakukan kesalahan. Ya, Ndoro Kakung bisa banyak bicara, bisa ngapusi orang. Dia seorang pekerja seni, dan bekerja di sebuah industri farmasi.

stairs: tangga darurat?

stairs: tangga darurat?

Ndoro Kakung, bagi saya, mengingatkan pada perilaku para pangreh praja jaman Belanda. Perilaku yang mencari kekuasaan, menghamba kepada kekuasaan. Jika dibandingkan zaman modern, dia mirip politisi di Senayan itu. Ia bisa bicara segala sesuatu dari sudut kepentingan sendiri. Ia menyembunyikan tujuan dengan membungkus kalimat-kalimat yang kadang elok, kadang membius lawan bicara.

Saya berteman karena relasi yang cukup lama. Posisi Ndoro Kakung  sekarang ini adalah manager di bidang promosi. Saya kenal Ndoro Kakung, juga akrab dengan beberapa bawahan Ndoro Kakung di kantor itu. Bahkan ada yang sangat akrap. Lebih akrap dibanding dengan Ndoro Kakung.

Ndoro Kakung ini, memiliki hubungan sangat baik dengan direktur, atasanya langsung. Kedekatan itulah yang dimanfaatkan untuk menghancurkan teman-temannya, yang ia anggap musuh. Beberapa tahun lalu, dia merancang untuk memperebutkan posisi deputy direktur.

Soal yang begini, dia memang jago. Untuk sampai ke manager pun, dia sudah menjatuhkan beberapa temannya. Dia lancarkan fitnah, Ndoro Kakung juga nggak malu bikin  skenario untuk menyudutkan temannya, menuduh seseorang melakukan perbuatan yang tidak dilakukan. Tapi, saya kok percaya dengan mitos ini: Orang pintar dikalahkan oleh orang licik. Orang licik dikalahkan oleh orang yang beruntung.

Ndoro Kakung termasuk yang licik ini. Menurut cerita seorang teman saya, yang menjadi anak buah Ndoro Kakung, “Modalnya dia adalah lidah. Lidah dia tajam,” katanya teman saya ini, Firman. Saya nggak paham. “Ndoro Kakung itu bisa menjilat ke atasan, memanfaatkan teman, menekan anak buah hanya modal lidahnya,” kata Firman.

Benar. Ndoro Kakung selain pandai bicara, dia juga ahli melihat segela sesuatu dari sesi politik. Dia selalu berpikir siapa kawan, siapa lawan. Menurut Firman, untuk bisa menjadi manager sekarang ini, setidaknya dia menjungkalkan dua orang. Satu orang atasannya, satu lagi satu “rekan perjuangannya”. Ya, perjuangan melengserkan atasan.

Merasa semua sudah firm, sudah well prepare, Ndoro Kakung berani sesumbar dirinya akan diangkat menjadi deputi direktur. Nah, kalau soal ambisi ini, menurut Firman, Ndoro Kakung ahli menyembunyikan. Dia selalu lemparkan teman lain yang cocok untuk duduk di posisi tersebut. Itu hanya cara untuk mengetes teman itu kawan atau lawan.

Nah, beberapa waktu lalu, saya dapat kabar, ternyata yang diangkat menjadi deputi direktur ternyata orang lain: Pak Prabu. Orang yang selama ini sangat dibenci Ndoro Kakung.  “Ndoro Kakung langsung frustasi. Kepalanya ditekuk terus. Udah gitu Mas, dia sampai mencret tiga hari,” kata Firman. Saya kaget mendengar cerita itu. Setelah tiga hari, Ndoro Kakung belum bisa menerima kenyataan bahwa bukan dirinya yang dipromosikan. Seminggu, sebulan, dia terus melakukan kasak-kusuk. “Dia berusaha menjatuhkan Pak Prabu,” kata Firman.

Ini bukan cerita rekaan. Benar-benar terjadi. Saya punya memori yang jelek tentang Ndoro Kakung ini. Saya pernah menjadi korban kelicikannya. Tapi beruntung, saya malah bersyukur. Karena ulah dia,  saya akhirnya bisa punya karir di televisi. Setelah saya difitnah dan dimanfaatkan dia, saya pernah tidak punya pekerjaan. Beruntung Alloh mendengar doa yang dizalimi. Saya malah akhrinya mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat. Lebih berkah dibandingkan jika saya tidak dijegal sama Ndoro Kakung.

Saya menjadi teringat kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Di dalam Surat Al Kahfi, diceritakan bagaimana Nabi Musa yang merasa lebih pandai, minta agar diterima sebagai murid Nabi Khidir (saya buat dengan gaya bahasa yang ringkas).

“Sudahlah  you pasti nggak akan sabar,” kata Nabi Khidir. Nabi Khidir pun memberi syarat, mau menerima menjadi murid, asalkan tidak bertanya.  “Oke, deal,” kata Nabi Musa.

Tiba-tiba Nabi Khidir melubangi sebuah kapal. Padahal, kapal itu milik nelayan yang pasti sangat dibutuhkan pemiliknya. Nabi Musa kaget dan marah. “He, kenapa you lubangi?” katanya geram. Nabi Khidir pun menjawab, “I udah bilang you nggak akan sanggup jadi muridku,” kata Nabi Khidir. Nabi Musa merengek agar tetap dirinya tetap boleh menjadi cantriknya kembali.

Di perjalanan, Nabi Khidir bikin kehebohan lagi. Ia membunuh  anak kecil. Nabi Musa pun naik pitam. “Kenapa anak nggak berdosa you bunuh? Ini melanggar HAM,” katanya. Nabi Khaidir pun kembali marah. Hanya karena Nabi Musa berjanji tidak melanggar janjinya lagi, Nabi Khidir membolehkannya terus menjadi muridnya.

Di suatu negeri, Nabi Khaidir memperbaiki tembok rumah yang akan runtuh. Setelah selesai, Dia meninggalkan begitu saja. Nabi Musa pun menegurnya. “Jika you mau, mestinya kan bisa minta upah?” kata Nabi Musa. Di sinilah Nabi Musa harus berpisah dengan Nabi Khidir.

Nabi Khidir pun akhirnya menjawab semua pertanyaan Nabi Musa. “Tentang kapal yang dilubangi, karena di tengah laut ada seorang raja yang bengis dan merampas setiap kapal. Tentang anak itu, sebenarnya ayah-ibunya adalah orang mukmin, dan anak itu berpotensi menyesatkan keduanya. Sedangkan tentang tembok rumah, sebenarnya itu di rumah itu tertimbun harta milik seorang yang sholeh. Sedangkan dua anaknya masih kecil. Tembok dibangun biar rumah tidak rubuh, dan harta itu bisa menjadi modal hidup dua anak yatim itu ketika sudah besar.” (Selengkapnya baca surah Al Kahfi /surah ke-18).

Apa hubungannnya dengan Ndoro Kakung? Nah ini dia. Firman yang memberi tahu. Setiap kejadian, betapapun itu di mata kita sangat menyakitkan, Alloh punya maksud sendiri. Alloh yang merencanakan. Yang mengatur nasib seseorang sesuai dengan kemampuannya. Jadi, meski dia mengejar jabatan dengan bantuan dukun, dengan menginakan orang, memfitnah orang yang dianggap lawan, menjilat pemilik modal, tidak akan kuat melawan ketentuan Alloh. “Berusaha boleh, tidak perlu membanting tulang. Nggak usahlah sampai menghinakan orang lain,” kata Firman.

Saya setuju. Bagi saya, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik musibah. What next dari semua peristwa, selalu misteri. “Paling enak jika dihadapi dengan sabar,” kata Firman.