Memilih Jalan Kematian

Saya sedang mewawancarai seorang calon karyawan, ketika tiba-tiba ingin menulis catatan ini.

Kita mulai dari mana? Dua hari ini, saya berturut-turut mengikuti prosesi pemakaman dua orang. Hari Sabtu, saya ikut menghadiri pemakaman seorang tetangga, sedangkan hari Minggu, suadara ipar dari pihak istri juga meninggal di daerah Cinere. Kedua-duanya mengakhiri hidup dengan cara yang teramat mirip: meninggal dengan mendadak.

Ya, kematian memang rahasia Ilahi. Tak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput. Orang yang sudah sakit bertahun-tahun, justru bertahan hidup. Sedangkan mereka yang segar bugar malah mendahului.

Ibu Saya, Sudarmi, misalnya. Ibu terkena stroke sampai tiga kali, dan bertahan sakit lebih dari 10 tahun. Tapi, kakak saya, Sri Lestari, baru dua bulan terkena ginjal, justru meninggal lebih dulu.

Kita tidak pernah bisa memilih jalan kematian. Tetangga saya itu, lebih mengagetkan lagi. Malam hari, ia masih ikut sholat Isya berjamaah di masjid. Selepas itu, masih mengantar tetangga lain yang sakit saat akan di antar ke rumah sakit. Ia masih banyak ngobrol dengan teman-teman, sampai ajal itu datang. Dalam keadaan duduk.

Saudara istri saya, punya kisah hampir mirip. Sebelum tidur dia segar bugar, tidak mengeluh apapun. Di malam hari, asmanya kumat. Dia bernafas berat, dan sempat dilarikan di rumah sakit. Hanya saja, nyawa tak tertolong.

Nyawa, hanya Alloh yang tahu. Ada satu kisah, Nabi Sulaiman didatangi seorang umatnya. Si Fulan ini, baru saja terbirit-birit setelah melihat sosok malaikat, penyabut nyawa. Dia mengadu ke Nabi Sulaiman Alaihi Salam, “Saya takut mati. Saya belum siap. Tolonglah saya, saya sangat takut….”

“Kenapa takut? Belum siap?”
Si Fulan tak menjawab. Ia tertunduk. “Tolonglah ya Nabi. Terbangkan saya ke mana…sampai di satu tempat yang aman..”

Nabi Sulaiman yang dikenal bisa berbicara kenal pandai berbicara dengan binatang pun, menyetujui. Maka Si Fulan ditiup dan hinggap di India. Tempat ini, sesuai dengan permintaan Fulan yang ingin menghindar dari jangkauan malaikat maut.

Tak lama kemudian, malaikat maut mendatangi Nabi Sulaiman. “Ya Nabi, ke mana yang tadi datang ke mari?” tanya Malaikat itu.

Nabi Sulaiman pun tertegun. “Ia baru saja aku terbangkan ke India..”

“Oh… terima kasih. Soalnya, dalam catatanku, dia mesti kucabut nyawanya di India.”

Nah, bagaimana kita bisa menghindar dari kematian? Maka, kita sangat dianjurkan untuk memohon agar diberi kematian yang chusnul khotimah. Kematian yang berujung baik…yang, Insya Alloh, akan membawa kita Surga.

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa ada seorang ahli ibadah yang mengamalkan berbagai amal penghuni surga. Tetapi, takdir sudah mendahului, ia meninggal sebagai calon penghuni neraka. Sebaliknya, ada orang yang bertindak layaknya bertindak sebagai ahli neraka, yang jarak antara dirinya dengan neraka hanyalah kematian, tetapi takdir mendahuluinya. Ia meninggal sebagai ahli surga.

Mengapa bisa seorang ahli ibadah meninggal sebagai ahli neraka? Menurut beberapa mufasirin, karena ibadah yang dijalankan tidak ihlas dan juga ada sifat munafik dalam dirinya. Inilah yang membuat dia meninggal su’ul khotimah (meninggal dalam keadan tercela). Sebaliknya, si ahli maksiat, dia bertobat dengan tulus ihlas, dan benar-benar tidak ingin mendurhakai Alloh.

Sekarang tinggal kita mau memilih kematian yang mana. Yang pasti, kita tidak pernah tahu kapan maut akan menjemput. Entah di saat kita tidur, duduk atau berdiri. Maka, berharaplah agar kita terhindar dari kematian yang tercela. Nah, di sini kita harus bersabar agar terhindari dari perbuatan makziat…