Jenderal Yang Sabar

Ayo tebak, bintang apa yang tidak pernah surut cahayanya? Jawaban yang benar, Anda harus datang ke ahli atronomi. Yang pasti, ada bintang yang justru kian bersinar? Bintangnya para tentara.

Saya tidak banyak teman dari kalangan militer. Saya hanya pernah akrab dengan dua bintang dua. Ya, mayor jenderal. Entah kenapa, sejak dulu, saya kurang suka bergaul dengan tentara. Padahal, waktu kecil dulu pingin lho jadi tentara atau polisi. Itu karena tetangga saya, banyak yang menjadi tentara.

Sekarang saya akan ceritakan jenderal yang satu ini. Sebut saja dia Mayjen Dasrip. Saya kenal dia sudah lama, sejak masih bintang satu, sekarang sudah pensiun. Dia ini orang yang pintar, hanya sedikit kalah pintar dengan Jenderal SBY. Dia juga orang yang sangat berani.

Soal kesabaran, saya tidak akan banyak ungkapkan, ikuti cerita berikut saja ya. Karir militer Dasrip sebenarnya tidak terlalu cemerlang. Ukuran jenderal tentara itu, sangat mudah terlihat dari jabatan yang pernah dipegang. Jika dia mulai dari komandan tempur, terus menanjak sebagai pemegang pasukan, pasti dia orang yang disegani di kalangan mereka.

Nah, teman saya ini, lebih banyak menjadi staf di belakang meja. Otaknya yang cemerlang membuat banyak jenderal yang senang mendapatkan bantuannya. Misalnya, menuliskan naskah pidato atau naskah ceramah di diskusi ilmiah. Dia sangat jago. Karena memang sehari-hari lebih banyak baca buku, dibanding memegang senjata.

Karena hampir tidak pernah memegang komandan teritorial, Dasrip ini mentok di pangkat kolonel. Karena pandai, dan banyak wawasan, maka dia ditugaskan sebagai anggota DPR. Kala itu, tentara masih memiliki fraksi sendiri di DPR. Dia vokal, lantang menyuarakan reformasi. Termasuk di tubuh TNI sendiri.

Sebenarnya dia lahir mendahului jamannya. Karena gagasan yang lebih cepat dibanding bayangan itu, maka tidak heran dia malah dimusuhi jenderal-jenderal senior. “Saya dikucilkan, dianggap keblinger,” katanya.

Karena itu, dia sempat diparkir lagi di Mabes ABRI (sekarang TNI AD) karena kevokalannya. Di saat seperti ini, teman kita ini malah mempergunakan untuk membangun jaringan di kalangan sipil. Dia banyak bergaul dengan tokoh mahasiswa, LSM, bahkan beberapa di antaranya lawan Orde Baru.

Ya, dia sedang bermain dengan api. Benar saja, ia benar-benar terbakar. Ia pernah diinterogasi oleh atasannya karena dianggap bersimpati ke orang-orang yang anti-pemerintah. “Wah yo runyam. Aku seperi diadili je,” katanya.

Dasar kolonel tambeng. Dia meluncur terus, tak mengubah arah haluan. Nah, akhirnya muara yang diharapkan itu akhirnya datang juga, yakni tuntutan reformasi. Sampai akhirnya Presiden Soeharto jatuh. Teman kita ini pun, pelan tapi pasti mulai bersinar. Dia diminta untuk menjadi salah satu tim perumus reformasi TNI. Di sini ide-ide cemerlangnya seperti mendapatkan lahan subur untuk disemaikan.

Meski begitu, bukan berarti, langkahnya mulus. Ada saja, jenderal yang tidak suka. Beruntung, ada rekan satu angkatannya yang menarik. Ia akhirnya menjadi brigadir jenderal. “Saya termasuk terlambat, teman-teman saya sudah ada yang bintang tiga, saya baru diberi satu bintang,” katanya.

Toh dia bersyukur. Dia beryukur karena mendapat kesempatan menjadi jenderal. “Ada yang meramal nggak akan menjadi jenderal lho,” katanya. Dia ditempatkan di bidang yang memang disukainya. Politik. Tapi, karena dia banyak “berpolitik” justru dimusihi jenderal yang lain. Dia kembali menjadi anggota DPR. Saat Abdurrahman Wahid dilantik menjadi presiden, dan teman kita ini kembali mendapat promosi. Bintang dua di pundak. Ini tidak terlepas dari pertolongan teman seangkatannya yang sudah menjadi bintang tiga, letjen.

Saat dia menjabat posisi penting, memang terjadi kontroversi. Ramai sekali. Intinya pertempuran dua faksi di tubuh TNI Angkatan Darat. Dan, kali ini teman Kita yang kalah. Dia tersingkir dari arena, termasuk teman-temannya.
“Ya nggak papa to Mas. Jabatan itu datang dan pergi, nggak usah ditangisi,” katanya. Tetapi, setahu saya, satu teman Dasrip ini ada yang sampai stress, dan bahkan meninggal dunia, tak lama setelah ia dicopot dari jabatannya.

Setelah jabatan itu hilang, Dasrip benar-benar selesai. Karir militernya terhenti. Dia tidak punya jabatan apapun. Masuk kotak. Frustasikah dia? Ternyata tidak. Karena tidak dimanfaatkan di organisasinya, dia malah banyak berkiprah di bidang lain. Ia menjadi penulis buku yang sangat produktif. Saya pernah dikirimi draf buku yang akan diterbitkan, dan dia minta saya memberi masukan. Saya sudah corat-coret dan memberi sedikit kritik, tapi kok ya nggak sempat mengirim kembali.

Meski tak punya jabatan, pengaruh dia di juniornya juga masih lumayan. Banyak yang “berguru” kepada dia. Yang saya kagumi dari dia adalah, keteguhan sikap, keberanian mengambil resiko, dan sikapnya yang penyabar. Meski dia difitnah dengan aneka tuduhan, dia tidak pernah berusaha membalas. Apalagi dendam. “Jabatan itu sudah ada takdir kok. Meski kita berusaha mati-matian bertahan, kalo memang saatnya lepas yo lepas,” katanya.

Meski begitu, dia tidak pernah lepas berusaha. Dia membedakan antara tawakal, sabar, dan pasrah. Pasrah itu nrimo, terima dengan reserve. Terima bulat-bulat. Sabar, identik dengan sikap menerima dengan diiringi instrospeksi, juga berusaha. Sedangkan tawakal, lebih kepada kepasrahan dan tunduk atas takdir Alloh. Memang agak sumir membedakannya.

Karena itu, dia sekarang yang telah pensiun, rajin berpolitik. Dia ke sana kemari menawarkan gagasan tentang Indonesia yang lebih baik. Soal hasil? “Saya hanya wajib berusaha, soal hasil sudah ada yang mengatur,’ katanya.