Beri Aku Duka


Jangan. Jangan sakit. Begitu selalu kita mendengar atau kita sendiri sering berdoa. Tapi, apa pernah kita mendengar orang berdoa: Ya Alloh beri aku duka? Rasanya kok tidak.

cancer breast, kanker payudara

cancer breast, kanker payudara

Meski tidak mungkin. Saya memiliki seorang teman yang memiliki ketabahan luar biasa. Bagaimana tidak bila salah satu doanya adalah meminta agar diberi rahmat bernama sakit. Padahal, orang ini, sehat-sehat selalu. Kuat perkasa.Masih muda pula.

Jika sehat, dia cukup rajin olah raga. Seminggu sekali main bulu tangkis, dan sering pula jalan pagi atau berenang. Ia juga rajin mengkonsumsi vitamin. Sering pula memasukan asupan madu, ataupun Habatusaudah. Ini murni untuk menjaga kesehatan.

Teman kita ini, kita juluki dia Pak Waluyo (bahasa Jawa yang artinya hidup atau sehat). Ia punya kesibukan layakanya orang kantoran. Belum lama ini ia menikah, dan mendapatkan gadis setelah melalui proses perkenalan yang singkat (nadhar), dan selang beberapa pekan kemudian mereka menikah.

Jika banyak pekerjaan, ia senantiasa menyiapkan ekstra tenaga. Minum madu, juga susu. Terkadang ia juga ke tukang urut, laki-laki tentu, bila urat-uratnya dirasakan kaku atau badannya pegal. Jika tak salah, ia juga rutin melakukan “cuci darah” dengan bekam. Jika saya tak salah ingat pula, Teman Kita ini juga rajin puasa Senin-Kamis. Selain untuk ibadah, juga untuk mengerem perutnya yang tampak terus bergunung lemak. Berbagai upaya menjaga kesehatan itu dilakukan di saat normal. Artinya, semua proses kehidupan dirasakan normal pula.

Nah, jika ada sesuatu terjadi di luar rencana. Dia mudah stress. Agak panik. “Biasanya aku sariawan,” kata teman saya itu. Jika sudah sariawan, bibirnya berlobang seperti jalan raya di musim hujan. Bahkan, lidahnya pun sampai seperti disilet karena ada belahan merah di sisi kiri atau kanan. Saya hanya bisa membayangkan, betapa perih ketika makan. Betapa bau mulutnya ketika sakit seperti itu. “Paling minum vitamin C, dan istirahat yang cukup,” katanya.

Nah, ia bercerita, salah satu gejala bila dirinya sedang tidak tenang hatinya, adalah sangat sulit tidur. Jika toh tidur, biasanya ia akan mengigau tengah malam. Berteriak. Pernah suatu ketika, kami pergi ke luar kota, dan menginap satu kamar.  Ketika saya belum benar-benar lelap, dia sudah berteriak-teriak. Saat dibangunkan, dia terkaget bukan main. “Tidur kok ngomel,” kata saya. Memang, ia sempat berbicara sesuatu yang tidak jelas, sambil setengah teriak. Dia tak menjawab, dan langsung tidur lagi.

Saya kira, setiap orang memiliki kekuatan batin yang berbeda-beda. Teman Kita ini juga memiliki mentalitas yang, sebenarnya, tidak jauh berbeda dibanding dengan orang lain. Yang membuat lain, dia menyikati persoalan hidup tidak dengan tekanan. Dia terima semua masalah dengan santai. Seperti tidak pernah punya masalah. Dia tidak pernah terlihat murung. Meski begitu, dia pernah pula mengeluh tentang sesuatu.

Nah, yang paling mengejutkan, saya beberapa kali dia berdoa agar diberi sakit. Lho kok aneh? “Kalo sakit kan nggak masuk kerja,” katanya. Saya menanggapi serius, eh dia tertawa. “Ya nggaklah. Biar bisa ngrasain sakit aja,” katanya.

Saya lama tidak mengerti arah pembicaraan. Rupanya dia menangkap otak saya yang tidak nyambung. “Begini lho. Jika kita sakit, akan merasakan nikmatnya sehat. Jika kita sakit, kita akan merasakan betapa tidak ada artinya itu makanan enak. Tidak ada artinya ruangan yang berpendingin,” katanya.

Pak Waluyo, bukan sedang ceramah to? “Tidak. Ini serius. Setiap saya sakit, saya bisa menikmati. Bisa bersukur karena diberi sakit. Coba kalau nggak sakit, Pak Pracoyo nggak menengok rumah saya kan?” katanya.

Lantas dia bercerita, doa permintaan agar diberi duka itu, biasa dilakukan setiap ada gejolak di hati. Jadi, doa  itu memang tidak selalu dipanjatkan. Biasanya ia mengungkapkan doa itu ketika hatinya merasa punya sesuatu yang membuatnya resah. Itu artinya, dia merasa ada punya kesalahan. Merasa punya dosa.

“Dengan diberi sakit, siapa tahu kita sedang diberi ujian untuk naik kelas. Siapa tahu kita sedang dibakar dosa-dosa kita,” katanya. Saya merenungi setiap kata-katanya. Kok ada benarnya juga ya.

Teman Kita ini mengaku punya filling yang terkadang menjadi kenyataan. Misalnya, tiba-tiba saja dia ingat sudah lama si anu tidak sakit. Dan, dalam waktu tidak lama, orang yang disebut di dalam hatinya itu benar-benar sakit. Tentu orang yang dimaksud tentulah orang yang sangat dekat dengan dirinya.

Lalu, kenapa dia merasa perlu berdoa agar diberi sakit? Menurut Pak Waluyo, dia benar-benar ingin sakit karena punya keyakinan begini: setiap orang yang diberi penyakit, artinya Alloh sedang membakar dosa-dosa orang tersebut.

Wah, yang benar? Darimana pandangan itu berasal. Saya tetap tidak percaya. Setelah itu ia mengeluarkan hadis-hadis terkait dengan sakit. Saya hanya terdiam. Hmm, jika begitu: apa kita perlu sering-sering berdoa agar diberi sakit? Dia menggeleng. Kewajiban sebagai manusia, tetaplah berusaha untuk sehat. “Jika sehat kita bisa mencari penghasilan, mencari ilmu, bisa beramal lebih banyak,” ujarnya.

Orang sakit bisa beramal, dan jika ia bersabar. Sabar menerima sakit, apalagi bisa bersyukur. Saya punya teman yang punya keihlasan menerima penyakit. Meski ia sudah divonis tidak akan berumur panjang lagi, dia tetap bersyukur. Dia malah lebih giat bekerja. Padahal, kanker payudaranya sudah sampai ke paru-paru, teman ini tetap tak mengurangi aktifitas. Ia hanya berhenti, jika harus dirawat di rumah sakit. Misalnya sat akan kemoterapi.

Yang paling hati ini terasa tersayat sembilu, ketika kami menengok di Rumah Sakit Kramat, di ruang ICU. Nafasnya sudah dibantu dengan selang oksiken.  Gerak jantungnya tersengal-sengal. Kami berdiri di sebelahnya. Dia udah tidak bisa bicara lagi. Tapi, masih sadar.

Dengan gerakan tangan, ia minta didoakan. Maka kami pun berdoa untuk dirinya. Saya, terus terang, berdoa agar diberi jalan terbaik oleh Alloh Azza Wajala. Jika memang sehat itu lebih baik buat dirinya, sehatkanlah. Jika meninggal lebih baik buat dirinya, segerakanlah ya Alloh. Istrinya saya menangis.

Eh, subhanalloh. Dia melarang kami bersedih. Dengan gerakan tangan, dia melarang kami terpekur. Akhirnya kami memberi semangat, agar di tabah. Dan, sedikit mengingatkan agar jangan lepas membaca La Illah ha Ilalloh. Kami berpisah. Dia berusaha tersenyum.

Malam harinya, ia benar-benar meninggalkan kami.

2 pemikiran pada “Beri Aku Duka

  1. Hari udah janjian sama orang dari penerbit yang mau membukukan cerita-cerita di blog ini. tapi krn jumlahnya baru 20 cerita, dia masih menunggu sampai sekitar 30 cerita atau syukur bisa lebih

Tinggalkan komentar