Tumpuan Keluarga…

hadiah buat Ibu

hadiah buat Ibu

“Mas, kalau saya nggak sabar, saya sudah bunuh diri,” kata teman saya. Kenapa? “Ya coba saja bayangin, saya ini sejak kecil hidup sudah susah. Saat Ibu saya hamil, ayah saya menikah lagi,” kata teman saya itu. Kita sebut saja dia Pinasti.

Saya masih belum jelas. Apa hubungannya antara si ayah menikah lagi, dengan keinginan bunuh diri. Maka, dia pun mulai berkisah secara runtun. Saya petikan kisahnya.

Saya berasal dari keluarga Minang yang merantau. Ayah dan Ibu asal Pariaman, Sumatera Barat. Ayah saya ini perantau yang terbilang sukses. Ibu dan ayah semula berjualan warung kelontong. Karena sukses, ayah saya memperluas dengan menjadi penjual sepatu. Ini juga sukses. Maka, ayah mendirikan pabrik sepatu hand made. Kebetulan rumah kami cukup luas, dengan halaman belakang yang cukup lega.

Rumah itu akhirnya disulap menjadi tempat work shop, dan bagian depan sebagai toko untuk menjual hasil kerajinan sepatu. Kami sekeluarga ada tujuh orang, dan saya anak terkecil. Semula kehidupan kami, menurut cerita kakak-kakak, sangat bahagia. Semua kebutuhan keluarga tercukupi. Tidak ada yang kekuarangan. Kakak-kakak yang sudah sekolah, di pilihkan sekolah yang bagus. Kakak yang kuliah pun begitu.

Menurut Ibu saya, awal petaka keluarga, terjadi di saat kehamilan saya. Saat itu, ayah sedang berada di puncak sukses. Uang banyak, dan banyak pula teman. Ada seorang supplier, rupanya, yang kecantol hati sama ayah saya. Dan, ayah juga tergoda. Mereka akhirnya menikah secara diam-diam.

Ibu saya mengetahui saat mengandung kehamilanku. Ibu sangat terpukul. Dia stress berat. Ini karena ayah mulai jarang berada di rumah, dan tidak pula mengurus bisnis secara serius. Bisnis harus ditangani Ibu seorang diri. Ya, kakak belum ada yang selesai kuliah. Belum ada juga yang bisa mengambilalih tanggung jawab. Karena beban yang teramat berat itu, Ibu pernah ingin bunuh diri. Ibu sudah siap bunuh diri dengan cara menabrakan diri ke kereta yang akan lewat. Beruntuang, Alloh berkehendak lain. Saat akan melakukan aksi nekad itu, ada orang yang langsung menarik tangan ibu saya. Akhirnya selamat. Tak lama kemudian saya lahir.

Saat saya lahir, kondisi rumah tangga makin berantakan. Saat saya mulai masuk SD, rumah tangga orang tua benar-benar berkeping-keping. Ayah tidak pernah pulang, dan meninggalkan utang yang cukup banyak. Akhirnya, rumah dan pabrik dijual, untuk melunasi utang. Kami, Ibu dan kakak, hanya membeli rumah kecil di daerah Jalan Saharjo. Rumah itu mungkin hanya secuil dibandingkan denngan rumah yang dulu.

Semula saya belum mengetahui apa-apa. Nah, setelah SMP, saya baru tahu semuanya. Ternyata selama ini, Ibu hidup dari bantuan keluarga. Selain itu, Ibu juga makan dari menjual semua perabotan rumah. Kakak-kakak yang kualiah, terpaksa berhenti. Baru ada satu kakak yang selesai kuliah, akhirnya semua hanya bisa lulus SMA. Setelah SMA, kakak perempuan diupayakan agar segera menikah. Yang lelaki diharuskan bekerja. Ibu sendiri yang berusaha untuk mengatasi semua masalah keluarga.

Ke mana ayah? Terus terang, saya tidak kenal baik dengan ayah saya. Saya juga tidak tahu ke mana dia pergi. Saat saya tanyakan ke Ibu, dia langsung marah. “Nggak usah tanya ayah kamu. Sudah meninggal kali,” katanya. Setelah kena marah itu, saya nggak pernah bertanya lagi.

Seorang kakak saya pernah mencari ke mana ayah saya. Ternyata ketemu. Ayah sudah memiliki dua anak lagi dengan istri yang baru. Keadaan ekonomi tidak lebih baik dibanding yang dulu. Ayah hanya buka warung. Tapi, ayah memiliki rumah yang cukup besar dengan 11 kamar. Rumah besar itu dipakai untuk kontrakan. Ayah hanya memakai dua kamar di bagian bawah untuk keluarga.

Sebaliknya, keadaan keluarga saya makin berat. Karena beban hidup keluarga yang makin berat, rumah kecil itu dijual, dan kami pindah rumah ke daerah Depok. Kali ini lebih kecil lagi. Kami hanya mengontrak rumah petak. Di sinilah saya dan dua kakak saya tinggal.

Dua tahun lalu, ayah kami meninggal. Dia tetap ayah kami. Hanya ibu yang tidak mau datang takziah di rumah istrinya yang baru. Keadaan ayah sungguh kasihan. Istri yang baru rupanya meninggalkannya, dan ia menikah lagi dengan orang lain. Selesai kewajiban kami memakamkan ayah, barulah kami buka surat wasiat.

Dari surat itu, ayah mengakui ada utang Rp 120 juta sisa dari bisnis yang lama. Kami sepakat untuk menjual rumah kontrak itu membayar utang-utang ayah. Tapi, apa yang terjadi? Ternyata rumah itu sertifikat atas nama istri yang baru. Ketika kami mencari istri atau bekas istrinya, dia tidak mau melepaskan rumah itu. Kami akhirnya minta bantuan polisi untuk menjadi penengah. Kami tidak inngin menguasai rumah itu, tetapi ingin segera menjual rumah untuk menutupi utang-utang ayah. Alhamdulillah ibu tiri itu bersedia. Itu pun setelah kami berjanji akan memberikan sisa uang hasil jual rumah untuk dirinya.

Selesailah masalah utang, baru kemudian timbul masalah baru. Ibu sekarang sering sakit-sakitan karena memikirkan saya. Kenapa? Karena saya sudah umur 35 tahun, tetapi belum juga menikah. Ibu ingin sebelum dirinya meninggal saya sudah punya suami. Akhirnya, saya berdoa dan berdoa, juga berupaya. Saya dapat kenalan seorang lelaki yang usianya hampir 40 tahun. Kami pun menikah.

Punya suami, ternyata tak berarti masalah selesai. Suami saya harus keluar dari pekerjaan, karena gaji yang ia terima untuk ongkos saja tidak cukup. Ya dia bekerja di daerah Cibinong, sementara kami tinggal di Tangerang. Jadilah saya menghidupi suami. Kami berusaha berdagang. Bermacam-macam jenis dagangan, dicoba suami saya. Semuanya gagal. Kami pasrah. Setelah itu, suami saya menjadi penangguran.

Alhamdulillah, sudah lima bulan ini suami saya mendapat pekerjaan. Ketika sedikit bernapas lega, sekarang ibu saya yang sakit-sakitan. Kami bawa ke rumah sakit, karena ibu terkena komplikasi. Penyakit diabetnya malah membuat punggung dan pantat busuk. Di saat kami perlu kekompakan keluarga untuk menyembuhkan ibu atau mengupayakan pengobatan, ada kakak yang justru bikin saya pusing. Dia menghilang. Dia tidak kuat hidup sendiri, mengurus diri sendiri, karena selama ini bergantung kepada Ibu.

Kami juga sering bertengkar dengan kakak-kakak soal siapa yang akan menanggung biaya rumah sakit. Akhirnya, daripada berkelahi, kami bawa pulang ibu. Di samping biaya yang tidak sedikit, ibu juga tidak betah dirawat di rumah sakit. Akhirnya ibu meninggal dunia. Saya menangis. Saya menangis karena belum sempat membahagiakan ibu. Saya belum sempat membalas kebaikan ibu.

Begitulah cerita Pinasti. Saya sendiri belum tahu, apa hubungannya cerita itu dengan niat untuk bunuh diri. Belakangan saya baru tahu, ternyata selama ini yang menanggung semua masalah adalah Pinasti. Hampir semua kakak-kakaknya lepas tangan. “Padahal, berapalah pendapatan saya. Saya juga anak paling kecil,” kata Pinasti.

Pinasti lupa, justru disitulah dia kemuliaan hatinya sudah terpancar. dia lupa, di situ ada ladang kebaikan yang sedang ditanam. “Saya beruntungnya, saya bisa bersabar,” katanya.